Lebih dari sekadar watak, tanggung jawab adalah skill wajib yang harus dimiliki setiap individu bernyawa.
Betapa dunia ini sangat repot dan acak adut bukan karena jumlahnya yang meledak
-melainkan- watak penduduknya yang acuh dengan tanggung jawab?
Terutama mereka yang menyebut diri mereka DEWASA.
***
Terlepas dari keadaan yang sering dijadikan alasan ‘qadarullah’ (takdir, nasib, cobaan, ujian, azab, dsb)
Abai adalah penyakit. Menahun.
Tidak sadar penyakit ini menular, merusak, membuat BERANTAKAN.
Seorang bercerita, saat di kampus dulu ada seorang ketua pelaksana acara yang mangkir dari tanggung jawabnya. Membuat acara berantakan, rugi, para anggota terpaksa nombok.
Seorang lagi bercerita, salah seorang karyawan perusahaan miliknya bermalas-malasan sehingga membuat kawan satu tim kelimpungan. Menambal kekurangan pekerjaannya, bekerja lebih lembur tanpa tambahan bayaran. Merepotkan sekali.
Seorang perawat bercerita, tentang seorang ibu yang abai pada kondisi anak, tidak mau belajar, malas, merasa paling tahu, ngeyel akhirnya menyesal setelah sang anak sakit parah
Seorang anak bercerita tentang ayahnya yang tidak pernah memberi nafkah, malas, kerjaannya hanya nongkrong di pos kamling, merokok, bermain gaple. Rumah tangganya rusak, ribut, suasana rumah sumpek, seperti neraka. Sang anak tumbuh tanpa teladan ayah yang baik, fatherless.
Abai adalah tidak -berusaha- sebaik-baiknya melakukan tugas, peran, yang secara sadar telah ia pilih.
Abai adalah cuek, nggak peka, nggak sadar diri sama kewajiban yang harus ia kerjakan
Abai adalah tidak tanggung jawab.
MEREPOTKAN. BIKIN BERANTAKAN.
Sekuat tenaga diri ini berfikir, berusaha berlapang dada, memberi banyak uzur, tidak suuzon bila bertemu dengan orang kelewat santai. Tapi pada akhirnya orang-orang seperti ini bukan sedang ada uzur, melainkan wataknya yang memang ignorance. Malas, abai, nggak merasa 'penting' untuk menyelesaikan amanah.
***
Hidup ini keras, memang benar adanya. Teringat sebulan yang lalu saya habis melakukan operasi. Kesulitan duduk, tiduran juga nggak enak. Tapi kerjaan saya nulis. Duduk di depan laptop. Untung masih WFH. Sehingga saya masih bisa berganti-ganti posisi mulai dari berdiri, duduk miring, rebahan, dan lain sebagainya.
Sebagai karyawan biasa dan punya target yang harus dicapai, saya sadar sepenuhnya bila menunggu saya sembuh total, pekerjaan akan semakin numpuk, pencapaian target akan semakin sulit dikejar. Akan menyulitkan orang lain juga.
Toh, saya masih bisa sedikit-sedikit menulis. Yaudahlah masuk aja. Itung-itung latihan.
Namun di dimensi lain, saya menyimpan perasaan kesal. Dengan manusia-manusia yang -menurut- saya kelewat santai dalam melakukan tugas-tugas mereka.
Bagi mereka, ‘nggak perlu bekerja terlalu keras’
‘Santai aja’
Sialan, batin saya.
Apakah jika bersantai, mereka akan membantu saya untuk bertahan hidup? Menyelesaikan semua tugas-tugas saya? Faktanya tidak.
Santai adalah satu dari gunungan alasan menutupi rasa malas. Jika malas untuk diri sendiri, tidak akan terlalu jadi masalah. Namun bagaimana jika rasa malas, abai tersebut merugikan orang lain?
-berusaha- bekerja, tidak harus keras, setidaknya mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya adalah bentuk tanggung jawab.
Jika Hidup Ini Tak Perlu Bekerja Keras, Maka Lahirlah Menjadi Cipung.
Bahkan Cipung pun harus bangun pagi untuk shooting.
Dan kamu masih bisa bersantai?
Hey lihatlah tumpukan kertas di depan mejamu,
Bangun, kerjakan!
No comments:
Post a Comment