2022 Belajar Apa?

Saturday, December 31, 2022

 Tahun ini aku mencoba belajar mendefinisikan 'pencapaian' dengan perspektif yang lebih sederhana.


Sederhana namun cukup membuat mataku berkunang-kunang menahan bongkahan air di kedua mata.


Kadang kita berfikir bahwa harta, status, jabatan, dan hal-hal yang sifatnya hitung-hitungan adalah sebuah pencapaian yang wajib-harus-kudu di perjuangan dan 'berhasil digapai'


Nggak salah juga sih berambisi. Itu juga bagus.


Namun bila hal-hal kasat mata belum Allah izinkan buat dicapai, mari tengok dengan 'kacamata lain'


Berbakti kepada orang tua misalnya.


Aku menjumpai banyak temen-temen yang Allah berikan ujian ortu nya sakit atau bahkan kehilangan.

Beberapa diantara mereka terpaksa menunda impian, membagi waktu untuk merawat ortu, atau bahkan berbalik arah menekan ego demi 'menaati perintah' ortu.


Tahukah kamu?

Bagiku, anak-anak ini adalah anak-anak dengan pencapaian paling LUAR BIASA! 

Orang tua mereka berhasil mendidik putera puterinya menjadi anak-anak qurratayun..


Berhasil menuntun putera putrinya meraih keridhaan Allah dengan cara yang paling mulia


Bukankah ridha Allah tergantung pada keridhaan ortu? 


Merawat ortu yang sakit, menemani masa tua mereka yang semakin terasa 'berjarak', tentu bukan perkara mudah.


Entah tangisan, keluhan, amarah apa yang anak-anak ini coba pendam dan redam demi menundukkan ego mereka.


Perjalanannya sulit, tapi percayalah teman-teman disaat tenaga kita terasa lelah, tangis kita pecah, didera beragam perasaan ingin menyerah, Insya Allah kasih sayang Allah pun berlimpah.


Sekali lagi, bisa punya kesempatan berbakti sama ortu apalagi ditengah situasi sulit adalah PECAPAIAN yang patut dirayakan.


Kau tahu kenapa? 


Karena nggak semua anak bisa berbakti sama ortu nya dan berbakti kepada ortu itu 'nggak untuk semua' anak 🥺♥️


Selamat untuk kamu yang hatinya begitu luas mencintai ayah ibumu dengan segala ketidaksempurnaan mereka di hari tuanya 💔

Mix Feeling

Monday, December 12, 2022

 Akhir-akhir ini suasana hatiku sedang tidak karuan

Aku bahkan sengaja mengambil cuti haid yang seumur-umur tak pernah kulakukan

Aku menghamburkan uang hanya untuk jajan makanan yang sebenarnya nggak pengen-pengen amat (serius ini boros, dan nggak penting)


Segala ke-impulsif-an ini terjadi karena keruwetan pikiran yang tidak bisa ku urai satu-satu


Antara bingung, sedih bercampur aduk jadi satu


Hmmm tapi kata orang move on! Life must go on!


Tapi kadang susah dan agak berat ya buat 'go' terus


Emang kadang-kadang butuh melambat, menikmati hal-hal yang kita jalani, lebih-lebih jika diberi rasa bahagia di dalamnya.


Karena kalau esok lusa nikmatnya 'ditarik' meski untuk sementara

Rada-rada bikin galau juga ya :') 

Ajining Diri Ono Ing Lathi

Saturday, December 3, 2022

Di umur 25+ ini pasti akan tiba masanya diri kita dibuat lelah dengan 'omongan orang'.


Dengan ekspektasi dan keharusan-keharusan yang terus dibentur benturkan.


Jalan, pilihan, bahkan takdir Tuhan yang kita jalani ada saja celah untuk 'dikomentari'


Tentang cinta, pernikahan, karir, kemapanan, anak, dan segala tetek bengek urusan privat ini  seakan menjadi urusan publik.


Orang sibuk sekali mengomentari. Membuat ukuran-ukuran 'seharusnya' tapi mereka sendiri juga nggak paham apa parameternya.


Orang sibuk memberi penilaian baik dan buruk, tapi lupa untuk saling membantu, mendukung dan menguatkan.


Di dunia yang begitu berisik ini kadang sekuat apapun kita bertahan, santuy, EGP, tekanan-tekanan ini nggak pernah berhenti, berulang sampai akhirnya kadang-kadang meledak juga.


Untuk kamu yang memiliki hobi bertanya,


'Kapan lulus? Kok nggak lulus-lulus sih?'

'Sekarang kerja dimana? Lulusan kampus bagus kok ngga jadi PNS'

'loh lulusan kampus X kok kerjanya Y'

'Kapan nikah? Udah tua kalo nggak nikah-nikah nanti susah laku, susah punya anak'

'Udah nikah bertahun-tahun ngga pengen punya anak?

'Kok anak nya lambat ya jalannya? Nggak kayak anak lain?

'Anaknya kurus ya bu? Normal ngga BB nya?'

'Kapan punya adek lagi?'


Apalagi? 


Mari selalu ingat pesan ini


AJINING DIRI ONO ING LATHI


Harga dirimu terletak pada apa yang kamu ucapkan.


Jika kata-kata yang keluar dari mulutmu hanyalah pertanyaan kepo bernada sensi/iri/dengki, atau pernyataan judgemental yang terkesan menghakimi, mari refleksi. 


Jangan-jangan ada yang salah dalam diri ini.


Hidup ini terlalu singkat untuk tidak 'berinvestasi pada hal-hal baik' termasuk sikap kita , tutur kita pada orang lain 💙

MENJADI ANAK PEREMPUAN DARI AYAH YANG TELAH BERPULANG

Sunday, November 13, 2022

Aku pikir kesedihan setelah kehilangan bapak tuk selamanya akan berjalan mudah.

Yaa kalau pun sedih paling banter satu atau dua hari saja.


Namun ternyata aku salah, 

Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertamanya.

Dan kehilangannya adalah duka dan sesak yang tak terhitung berapa lama ia akan sembuh


***


Bapak adalah orang yang mengajariku naik sepeda meski aku sering dimarahi berkali-kali karena nyaris jatuh


Bapak adalah orang pertama yang menemukan bakatku. Memberikan aku modal untuk berani berbicara.

Melatihku dan mengikutkan ku lomba pidato pertama kali hingga aku juara lomba sejak SD bahkan bisa menghasilkan uang jajan sendiri sejak SD!


Bapak adalah orang yang selalu setia menjemputku dan menungguku saat aku pulang malam.

'nduk' begitu panggil nya saat suara helm ku terdengar menyentuh lemari.


Kebiasaan bapak membaca dan menulis pun tanpa kusadari ku ikuti jejaknya hingga kini aku bekerja sebagai penulis konten. 


Aku selalu merasa beruntung memiliki ayah seperti bapak.


Bapak tak membatasiku untuk berkarya. Aku dibebaskan seluas-luasnya untuk mengejar mimpi.

Bahkan setelah aku lulus sarjana, bapak adalah orang pertama yang sangat berharap aku langsung meneruskan sekolah.


Bapak samasekali nggak pernah berfikir bahwa anak perempuan nya hanya bertugas di dapur, di kasur, dan sumur saja. Aku diberikan hak penuh untuk explorasi.


Meski tak jarang aku juga dimarahi karena sangat malas berberes rumah, tak pandai masak dan super pemilih terhadap makanan.


Kemerdakaan dalam mengemukakan pendapat, di dukung terus untuk belajar, dihargai segala pilihan hidup ku meski tak semuanya sejalan dengan apa yang beliau harapkan adalah kebahagiaan, kenikmatan, dan privilege yang kumiliki lebih dari apapun.


Bapak punya peran besar bagi perjalanan hidupku. Semangatku, ambisiku, adalah buah energi dari beliau.

Sekarang bensinnya sudah habis. Sayapku telah patah sebelah, melangkahpun terasa begitu hampa. 


Tak jarang semangatku meredup di tengah-tengah.

Satu Kenikmatan "Jakarta" yang Sulit Ditemui di Daerah

Salah satu hal yang membuatku senang bekerja dengan orang-orang culture Jakarta adalah sikap -nggak mencampuri urusan orang lain- yang mereka miliki.

Mau kamu gendut atau kurus

Mau kamu buluk atau kinclong

Mau kamu single, kawin, cerai

Mau kamu punya orientasi seksual A, B, C

Mau kamu punya masa lalu kelam atau cerah

Mau kamu lulusan SMA, S1 atau S2 di LN

Mau kamu Islam, Kristen, Budha, atau gak beragama sekalipun

Nggak akan ada yang peduli. 

Nggak ada orang yang sibuk menanyai, apalagi mencampuri urusanmu!!

And immmmm super duper love it!

Aku beberapa kali membicarakan ini dengan saudara dan temanku yang sekarang juga kerja di Jakarta. 

 "Kerja di Jakarta emang capek, bising, tapi culture hidup masing-masing ala orang Jakarta ini bener-bener jadi zona nyaman sih. Ini yang membuat aku bener-bener seneng kerja di lingkungan kayak gini." ucapku berkali-kali.

Let me tell you about something! Its a true story!

Akhir-akhir ini aku bener-bener lagi males ngomongin pernikahan. Sebenarnya aku orang yang sudah  teramat santai dan berdamai dengan keadaan, nggak terganggu dengan grusak-grusuk orang lain yang memburu-buruku untuk menikah. Namun karena intensitas "nyuruh-nyuruh nikah"yang -cukup sering- akhir-akhir ini jadi membuatku sedikit MUAK!

Entah yang ngurusi rahim, berusaha menjodoh-jodohkan TANPA meminta consent denganku, sampai  membawa-bawa ibuku demi ucapan "cepet nikah" yang aku tahu itu hanya basa basi busuk!

Aku tidak suka! Aku tidak nyaman dengan perilaku tersebut. 

B*cot kali mereka wong mereka gak tahu kan isi hati pikiran dan kepalaku?

-

In another side

Ketika kanan kiri depan belakang orang-orang disini bac*t sekali ngurusin kawinan ku yang belum terlihat hilal nya ini, beberapa kenalan di Jakarta justru sebaliknya.

Kita kasih contoh ketika aku merengek duluan dan bertanya pada salah satu teman

"MANA YA KAK JODOHKU?"

"Mau jodoh ya Allah"

Apakah mereka akan menjawab "buruan nikah, keburu rahim nya usang," "buruan jangan suka pilih pilih" NO!!

Mereka gapernah jawab seperti itu.

Yang ada, seorang kolega pernah menjawab:

"Masih di seleksi sama Allah Lui"

Bahkan dari mereka tak segan mendukung dengan kata-kata baik, seperti "Kalau kalian nikah, nanti pokoknya aku seleksi dulu calonnya ya"

Betapa terenyuh nya hatiku mendapat kata-kata yang baik begini. 

Kita yang awalnya mode bercanda jadi auto serius berdoa, berharap mudah-mudahan malaikat mengaminkan. 

Pernah juga ada bercandaan di meeting kantor tentang aku yang pengen nikah. Ini isi orang yang masuk lebih ya dari 10 orang.

Tapi nggak ada satupun loh orang di room meeting itu yang bac*t aneh-aneh. 

Bahkan salah satu senior yang kebetulan jadi moderator bilang "Wah kalau soal jodoh, gue gabisa komentar itu urusan Tuhan"

Deg.

Apaaa nggak malu anda-anda ini kalau suka biciiikkkk ngurusin urusan "kapan kawin teman-teman kalian ini?"

Nggak cuma yang muda-muda ygy. Aku pernah terang-terangan nanya sama mama nya temanku "Tante suka buru-buru X biar cepet nikah nggak?" 

Tau nggak jawabannya apa?

"Nggak, tante itu minta nya langsung kepada Allah"

BEEHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!

Keren ngga? 

Keren banget!!

Dan hal inilah yang bener-bener bikin aku nyaman berada di lingkungan orang-orang ibu kota. Sebuah sikap yang sulittttt banget aku temukan di sekitarku.

***

Kisah di atas baru urusan pernikahan ya belum yang lain.

Ada kisah lain misal seseorang yang terkena mental health. Si X sebut saja. Dia ada sakit mental health kemudian beberapa orang tahu nih. Mereka tu nggak ada loh yang nanya "Serius lo?" "Sejak kapan?" "Tahu darimana lo?" "Kobisa?" nggak ada cuy.

Contoh lain misal kepo soal berat badan, judgemental soal ibu RT/kerja, apalagi ya?

Pokoknya pertanyaan dan pertanyaan basa basi busuk yang biasa menjamur di lingkungan kita tu bener-bener jarang dikulik-kulik sama warga ibu kota.

Kecuali kamu punya prestasi, punya achievement nah itu kami pasti bakal ditanyain 'gimana caranya'

Culture ini kayanya nggak mungkin (jarang) ya dijumpai di daerah.    

Bahkan apa yang aku rasakan, mungkin bener-bener nggak seberapa dibanding dengan teman-teman yang daerah nya desa. Mulut-mulut saudara/tetangga mereka bener-bener jauh lebih jahat banget!! Bukan hanya merundung tapi jatuhnya udah menghinakan harga diri.

Padahal derajat perempuan dalam Islam kan wajib yaa dimuliakaaannn. 

***

Tapi dari sedikit cerita ini juga malah jadi membuatku merenung kok. Serius. 

Kadang kita anak daerah suka merasa lebih beradab, lebih santun, melek tata krama. Merasa bahwa anak-anak metro anak-anak gak teratur, kejam, gak berhati eh ternyata emang musti saling belajar. Banyak orang-orang tinggal di ibu kota teryata lebih sopan, santun, dan beradab. 

Sopan santun nggak musti makan sambil duduk, ketuk pintu sebelum masuk, salim sama ortu sebelum pergi, tapi bagaimana menghargai manusia lain dengan UTUH. Menghormati nilai dan privasi nya itu bagian dari seni bersopan santun juga.

Nanti kapan-kapan cerita lagi ya soal adab-adab yang kupajari dari culture ibu kota ini :')   

Semoga kita terhindar dari bermudah-mudahan menyakiti orang lain entah dengan lisan, tulisan, sikap, ataupun bercandaan.

Hari Ayah

Friday, November 11, 2022

 Setelah berbulan-bulan lamanya aku sekuat tenaga mengingat bagaimana suara bapak, hari ini aku terbangun seperti dipanggil bapak.

Meski mungkin hanya sepersekian detik, aku sangat bahagia.

Aku terbangun dan mengingatnya.

Rasanya hatiku membaik, setidaknya aku tidak merasa berdosa-dosa banget setelah samasekali nggak bisa ingat suara bapak.


Bagi orang-orang yang pernah kehilangan merasakan sesak adalah trauma berat yang harus dipikul bertahun-tahun lamanya. Setiap hari! 


Kebanyakan dari kita hanya bisa diam. Takut karena dianggap nggak bisa berdamai dengan kehilangan, takut karena dianggap mangkir dari takdir Tuhan


Tapi bagiku, perasaan duka memang ada untuk dibagi. 

Selain kepada Tuhan untuk membanjir tangis, juga untuk mereka sesama penyintas. 

Supaya nggak merasa sendiri. Supaya perasaan duka ini patut untuk divalidasi.


Nggak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana rasanya kehilangan orang tua. 

Bagi kita para penyintas duka, saat sama-sama menelan rindu hanya bisa bertatap kemudian saling bergantian menangis dan menepuk.


Kami memahami dalam diam. Karena kami tau rasanya seperti apa tanpa bisa menggambarkannya dengan jelas.


***


Bapak, sudah satu setengah tahun lebih nggak ada.


Walaupun hubungan kita bukanlah ayah-anak yang sangat sweet dan manis, tapi bapak mengajarkan banyak hal kepadaku. 

Semangat dan perjuangan beliau begitu terasa, menular kepada anak-anaknya.


Dulu aku sebal kalau ada yang bilang bapak tua. Kayak mbah-mbah.

Aku malu ketika ada yang bertanya 'itu mbah kamu ya?'


Aku pasti buru-buru merengek pada ibu. Mengadu rasa maluku.


Kini, aku menyesal. 

Kenapa aku harus malu dan sebal?

Kenapa aku harus marah?


Padahal aku punya bapak yang hebat

Yang meski umurnya sudah sepuh tapi semangatnya jauhhhhhhhhhhh berlipat-lipat lebih besar daripada yang muda.


Seharusnya aku bangga! Bapakku memang tua, tapi punya banyak karya. 


Beliau seorang guru, kepala sekolah dan dosen. Beliau juga menulis buku, merintis beberapa sekolah dengan kawan-kawan beliau plus  seorang penceramah. Meski aku ngga tahu pasti kenapa akhirnya bapak memilih ujung karirnya sebagai PNS namun aku tahu sebagai pengawas, jalan yang beliau tempuh nggak jauh-jauh dari dunia pendidikan.


Beliau adalah sosok yang sangat mencintai ilmu. Buku-buku bapak banyak. Sampai tua pun hampir setiap hari beliau selalu membaca buku, meski buku-bukunya sudah tua dan bau usang.


Mungkin benar kata orang, tua muda itu cuma angka. Tapi mental dan kedewasaan nggak ada hubungannya dengan umur.

Selalu teringat pesan bapak "Obat dari ketidaktahuan adalah Ilmu Pengetahuan"

***

Pak, begitu berat hari-hari anak perempuan mu tanpa kehadiran sosok ayah di sisinya.

25 tahunku seperti diobrak-abrik oleh keadaan.

Setiap mengingat kematian bapak hatiku sangat sakitttttttt. Dada dan pikiranku sesak hingga tulang punggungku terasa begitu ngilu.

Tapi dengan mengingat kebaikan bapak, membagikan semangat bapak di semasa hidup terkadang membuatku tenang. 


Karena sampai kapanpun aku adalah anak perempuan bapak yang punya tanggung jawab untuk mendoakan, menyebarkan ilmu, dan bersedekah atas nama bapak.


Kelak jika ada seorang yang meminangku pertanyaan pertama yang akan selalu kutanyakan adalah 'bagaimana cara dia berbakti kepada orang tua ku dan ortunya.'


Jadi bapak tenang ya! Pokoknya aku berusaha banget sekuat tenaga  memanjangkan hal-hal baik yang dilakukan bapak.


Mudah-mudahan bapak dilapangkan kuburnya. Diampuni segala dosanya, ditempatkan di surga terbaik. Aamiin 🤲



***


Menulis dalam rangka Hari Ayah :')


Work for Yourself, Not Others

Monday, November 7, 2022

Ada salah satu postingan menarik yang kutemukan di Linkedin.

Lihat video selengkapnya disini

Video dalam postingan tersebut, mengingatkan ku pada diri ku sendiri yang kadang-kadang suka sedih dan ngeluh kalau-kalau "diri ini merasa sudah cukup bekerja keras tapi kok rasa-rasanya nggak dapat timbal balik yang berarti" :')

Hehe.

Kayak 'lah ngapain sih gw kerja keras kek gini ujung-ujung nya juga kagak dapet ape-ape'

Aku pernah bekerja dengan gaji underpaid dan mau nggak mau menjalani jobdesk diluar jam kantor SETIAP HARI. 
Repost konten, balas komen, dan lain-lain.

Nggak pernah sama sekali dapet tambahan duit :') hehe

Saat awal-awal pindah ke kantor baru, aku juga sering banget lembur dan kerja di waktu weekend karena speed menulis konten ku yang super duper lambat :')
Mau gamau aku harus 'sadar diri' nge spare waktu lebih buat nyelesein pekerjaan.

Kalau saat itu tujuan ku bekerja satu-satunya adalah uang, maka mungkin aku sudah buru-buru resign.

Namun entah kenapa aku masih saja berusaha menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Semaksimal yang aku bisa. Sekalipun ngga dapat balasan apa-apa.

Mungkin ini yang disebut dengan fulfilled kali ya. 

Kita bekerja bukan untuk dan karena orang lain. Tapi kita kerja buat diri kita sendiri.

Kita menghargai diri kita dengan 'harga lebih'
Dengan tanggung jawab, yang mudah-mudahan bernilai pahala yang luas dan berkah.

Agak naif memang, tapi bukankah value dalam diri kita memang mahal harga nya?

Note: Baca nya pahami konteks ya, awas aja kalau ada yang komen 'berarti lu kerja gak dibayar mau dong' atau 'lu mau kerja lembur terus gadibayar' gw tampol! 😤 Pahami konteks, pliss 😩

Tentang Kehilangan

Friday, November 4, 2022

Kau tahu apa yang paling berat dari kehilangan?

Semuanya.

Menerima kehilangan itu berat

Mencerna proses kehilangan itu berat

Menjalani hari-hari setelah kehilangan itu berat

Mengingat kehilangan itu berat

Menyaksikan kehilangan itu berat

Bertumbuh dengan kehilangan itu berat

Mengikhlaskan kehilangan itu berat

Tidak ada satupun kata yang bisa menggambarkan perasaan kehilangan dengan utuh.

Sedih, kecewa, marah, dan air mata bahkan tidak cukup menggambarkan berat nya kehilangan.

***

Kehilangan bapak membuat hari-hariku lumpuh selumpuh-lumpuhnya.

Apalagi melihat ibu yang akhir-akhir ini terus membicarakan tentang bapak. 

Anak mana yang tak sesak melihat ibu nya terus-terusan membayangkan kehadiran separuh jiwa nya bisa berada di sisinya. 

"Semua keinginan ibu Alhamdulillah dikabulin sama Allah. Cuma satu yang nggak dikabulin. Lihat kamu dinikahin dan didoain bapak langsung"

Perih sekali ya Allah :')

Dahulu ibu adalah orang paling tegar saat bapak nggak ada.

Lisannya hanya berdzikir saat mendengar kepergian bapak. 

Nggak pakek air mata meski tubuh nya lemas.

Hal yang ku takutkan benar terjadi.

Melihat ibu 'merasakan kehilangan yang sesungguhnya'

Hatinya mulai terasa kosong. Perasaan kehilangan yang sesungguhnya tengah menghujam dirinya.

Bapak benar-benar pergi. Bukan penataran atau ada acara ke luar kota. 

"Dulu nggak terlalu kerasa. Tapi karena udah lama, baru kerasa (kehilangan)" 

Aku hanya bisa berpura-pura tegar, mendengarkan meski ragaku ingin berlari dan menangis sejadi-jadinya.

Ya Allah, 

Bagaimana aku mendeskripsikan perasaan ini? Bagaimana aku harus memproses segala perasaanku?

Melihat ibu ku kepayahan sungguh berat, tapi akupun lumpuh hingga hari ini karena kehilangan bapak.

Ya Allah, 

Mudah-mudahan aku dan adik selalu dituntun, diberikan hidayah untuk jadi anak saleh, salihah yang bisa memanjangkan kebaikan atas nama bapak. Aamiin 🤲

***

Untuk semua yang tengah berproses dan bertumbuh dalam duka, semoga senantiasa dipeluk dengan curahan Cinta-Nya ya :')

Berat bangettttttttttttt. Aku tahu bagaimana kita semua sekuat tenaga menjalani hidup dengan sayap yang patah.

Dalam diam dan menjalani hari kita sering menangis, menahan sesak di dada yang nggak karuan. 

Tapi lihatlah hari ini, kita bertahan guys! 

Kalau kata Hunul "Kalau bukan Allah bekingannya, kita benar-benar gila"


Menemukan "Rezeki" dalam Pekerjaan

Thursday, October 20, 2022

Meskipun follow akun instagram kantor, aku cukup jarang "melihat-lihat" postingan yang ada disana. Hanya sesekali kalau pas buka instagram dan masuk ke timeline.

Bukan kenapa-kenapa sih, simply karena emang jarang buka instagram. Hehe

Namun, hari ini sebuah postingan video reels mampir di halaman lini masa instagram ku. Sebuah video tentang seorang anak yang menanti ayah nya pulang bekerja sebagai supir truk. 

Potret kehangatan, dan "saling berkasih sayang" tergambar jelas pada video tersebut.

Apalagi sang anak dan ayah saling memberi bungkusan hadiah, entah apa isinya mungkin semacam oleh-oleh atau bekal.

Background music Ada Band "ayah dengarlah..." membuat hatiku seketika potek. 

Terharu. Maknyeesss rasanya di hati.

Randomly tiba-tiba terlintas di pikiranku, "keren banget ya kantorku bisa bikin postingan kayak gini," sembari scrolling postingan yang lain. 

Ada perasaan bahagia rupanya.

Aku jadi semakin tersadar, bahwa salah satu rezeki yang aku dapatkan bisa kerja disini adalah 'happiness'.


Mungkin bukan uang, bukan fasilitas mentereng ala pejabat, bukan title yang keliatan 'wah', bukan kenyamanan yang terus menerus atau pun ke stable-an perkara career/income. Duh masih jauh kayaknya dari itu semua.


Tapi aku selalu bangga bilang 'aku bahagia kerja disini'. 


Rezeki pekerjaan setiap orang tu beneran masing-masing.
Ada yang mungkin rezekinya dari segi materi/gaji ada yang rezekinya dari sisi jabatan/amanah, ada yang rezekinya lingkungan yang baik, dll. Dan itu  gpp, karena buatku bentuk "rezeki" itu 'macem-macem'.


Temukan 'rezeki' itu di dalam pekerjaan karena almost separuh waktu kita dihabiskan buat kerja. Supaya tetap memeluk rasa syukur di tengah badai pekerjaan yang tidak mungkin tidak bikin kita tidak mengeluh alias semua pekerjaan pasti ada yang bikin sambattt. Hehe


Kalo ditanya apa yang bikin bahagia kerja di kantor sekarang? 


Jawabannya ada banyak, tapi salah satunya mungkin kesempatan menebar hal-hal baik.


Love banget sampe balik WFH ke Solo aku beneran se-sedih itu! :') Heuheu.

Wong Kok Dibanding-bandingke? Yo Mesti Salah Teros

Saturday, September 10, 2022

Walaupun bukan artis, tapi ternyata keputusan-keputusan hidup kita itu legit banget loh, buat dijadikan bahan greneng-greneng orang lain. Entah sanak saudara, tetangga, ataupun teman.
 
Kalau sekarang acara TV lagi ramai Endonesia Mencari Bakat, nah mungkin kehidupan kita tuh dibuat seolah-olah lagi ikut kompetisi.
 
Ada peserta
Ada cerita
Ada komentator
 
Kita adalah peserta
Hidup kita adalah cerita
Nah komentatornya nih macem-macem. Mulai dari keluarga, saudara, teman, sampai tetangga. Macem-macem pokoknya.
 
Uniknya, kalau soal ngomentarin orang lain kayaknya kita udah nggak kenal istilah introvert dan ekstrovert. Nggak kenal si pemalu dan si pemberani. Nggak kenal waktu, tempat, keadaan, bahkan etika. Boro-boro mikirin perasaan orang lain?
 
Pokoknya semua auto ekstrovert. Jago dan ber energi bangettt buat ngoceh dari A-Z (apalagi ghibahin orang lain)
 
*
 
Mari kita mengingat masa-masa dahulu saat kita masih sekolah.
Mungkin kita mulai dari zaman kita Sekolah Dasar dulu
 
Nggak cuma generasi alpha lho yang berat dengan gempuran teknologi penuh disrupsi.
Gen Z dan milenial 90an itu ya ada situasi berat di masanya.
 
Pertanyaan "piye nduk/le entuk rangking piro neng sekolah" ini sesungguhnya bikin keri (geli dalam bahasa Jawa) anak-anak SD di zamannya.
 
Udah gitu yang nanya mulai dari mbah, sepupu, budhe, pakdhe, om, tante, sampe tetangga-tetangga juga kepo.
 
Kalau kebetulan pinter dan dapet 10 besar mah santai ya. Yang agak sial itu kalau ranking 17 murid nya 20.
 
Mau dijawab takut dikira bodoh, gak dijawab takut dikira gasopan.
 
Akhirnya cuma nyengir pahit sambil jawab 'gak dapet 10 besar'
 
Lalu . . .
Apakah masa SMP akan tenang begitu saja? Ternyata tidak Fergusooo …
Pertanyaan 'ranking-rankingan' ini bakal terus berlanjut selagi kita sekolah.
 
Bahkan, di penghujung SMP nanti, kita juga mendadak menjadi artis.
Bakal ditanya sama warga +62 dengan pertanyaan begini kira-kira:
'lulus UN NEM nya berapa?'
'nglanjutin di SMA mana?'
Sebenernya pertanyaan ini nggak terlalu mengganjal sih ya, kecuali dilanjutkan dengan pertanyaan 'oh swasta? Kenapa nggak negeri?'
Biasanya disini bapak-bapak ibu-ibu, om, tante, pakdhe dan budhe itu bertanya pertanyaan yang sebenernya UDAH TAHU JAWABANNYA alias ya NEM nya nggak nyampek. Atau KK nya diluar kota jadi standar nilainya lebih tinggi dan sulit (mungkin kalo zaman sekarang istilah nya zonasi)
 
Konon katanya, kalo sekolah nya negeri favorit bisa masuk univeritas bagus.
Inilah kenapa keberadaan SMA kita seolah-olah jadi faktor penting menentukan masa depan.
 
Nggak berhenti sampai situ.
Nanti ketika masuk SMA perkara IPA IPS juga jadi urusan pelik dan selalu diperbedatkan.
 
Alasannya dua hal:

  1. Anak IPA lebih pinter
  2. Anak IPA nanti kuliahnya bisa milih, bebas kalo IPS jurusannya terbatas.

 
Belum berhenti, begitu kuliah, perkara kampus swasta/negeri dan jurusan pun nggak luput dari beragam komentar.
 
Kamu kuliah dimana, jurusan apa selalu jadi persoalan yang seru buat dicari celah dan kurangnya.
Kuliah teknik dibilang 'lapangan kerja terbatas, persaingan ketat'
Kuliah sejarah dibilang 'gapunya masa depan'
Kuliah swasta dibilang 'susah cari kerja'
 
Wes pokoke reno-reno (macem-macem).
 
Nanti di penghujung kuliah ujiannya masih panjang . . .
Telat lulus jadi bahan omongan
Cepet lulus belum dapet kerja juga makin jadi omongan.
Kerja swasta dikatain
Kerja PNS (ada juga si yang ngatain)
 
Ini kalau dilanjutin lagi panjang nih.
Perkara lamaran, nikah, punya anak, didik anak, anak kedua, ketiga, dst beuuhhh banyak ngetssss cela kita idup kayak apapun pilihan atau takdir hidup kita semua serba salah.
 
Mungkin salah satu penyebab orang mudah insecure adalah keadaan lingkungannya yang nggak bisa mendukung penuh pilihan/jalan hidup seseorang.
 
Kadang kita terlalu kepo, nggak sengaja menilai 'takdir' orang lain dengan bias-bias yang kita 'anggap lebih baik'
 
Padahal yaaaa …. Kita ngga tahu juga
 
*
 
Mungkin komentar-komentar dan pertanyaan-pertanyaan kehidupan seperti ini sudah menjadi budaya besar warga +62.
 
Tapi mungkin kita perlu merenung sejenak …
Sebelum buru-buru ngomentarin pilihan hidup orang lain atau mencetuskan pertanyaan yang nggak penting-penting amat
 
Kenali orangnya sebelum bertanya
Pikir lagi sebelum bermudah-mudahan memberikan penilaian orang lain,
 
Karena . . .
 
We never know, how hard some people fight for their life.

Menyaksikan Keranda Setelah 1 Tahun Kepergian Bapak

Saturday, September 3, 2022

Kemarin adik bapak meninggal dunia.

Sesungguhnya aku tidak cukup siap jika harus bertakziah.

Sudah satu tahun aku nggak pernah takziah bukan karena nggak mau, tapi nggak siap :')

Ada sesak di dada yang begitu besar, kadang bercampur marah.

Tapi apadaya, ini adek bapak, tidak mungkin jika tidak takziah.


Benar, lagi-lagi hati yang masih basah dengan luka ini kembali pecah


Dalam hati aku menangis


Ya Rabb

Begitu indah kematian ini disaksikan oleh keluarga, tetangga, saudara, kerabat, dan teman yang begitu menyayangi

Seluruh anak berkumpul dan mengangkat keranda

Ramai sekali orang-orang saling menguatkan keluarga yang ditinggalkan, bergantian mensalatkan, dan lisan yang tak henti mendoakan


Aku iri dan sesungguhnya tak sanggup menyaksikan semua ini


Aku tahu tidak ada kematian yang 'lebih mending'

Semua kematian adalah kepahitan tak terkira bagi siapapun yang ditinggalkan

Kematian menjadi luka menganga bagi siapapun yang kehilangan


Tapi ya Rabb dengan segala kekurangan diri dan kelemahan iman

Aku selalu merasa semuanya terlalu sulit untuk kupahami hingga hari ini


Mengapa aku harus merasakan kehilangan dalam situasi yang sangat menakutkan? 


Adik bapak yang lain kemarin bilang "anak-anak pak Ali pas nggak ada  nangis kabeh"


Ya Tuhan, bahkan air mata itu sudah kutahan-tahan.

Aku sudah menanggalkan perasaan sedihku demi terlihat kuat dan ikhlas


Bagaimana aku tidak menangis?


Aku harus sekuat tenaga menghibur diri sendiri, SENDIRI.


Tak ada satupun dari kami yang menyaksikan kematian beliau, aku bahkan tak tahu keranda bapak ku sendiri, cuma bisa nyolatkan sebentar itupun DIJALAN

Setelah itu?

Kami menutup rumah rapat-rapat, hingga hari ini . . .


Beberapa bulan setelah bapak nggak ada seorang teman berkunjung


"Hawanya beda ya Luk, keliatan masih sangat berduka"


Duka itu selalu ada, pintu yang dahulu selalu terbuka, kini tertutup rapat karena penghuninya-pemiliknya telah tiada


Kalau kata Ustaz Abdul Somad 'kehilangan itu akan hilang seiring berjalannya waktu HANYALAH omongan teori dari orang yang nggak pernah kehilangan'


Orang yang berduka itu hatinya sangat sensitif.


Inget dikit bisa nangis, inget dikit bisa sedih


"Tapi kok kayaknya si A, B, C biasa-biasa aja ya?"


Karena mereka memendamnya. Nggak semua orang bisa memahami kedukaan orang lain, sedangkan kedukaan itu perlu disaksikan.


Setelah bapak nggak ada, aku selalu senang dan tenang menulis tentang kedukaan.

Karena rasanya berat banget banget tapi nggak banyak orang bahkan penulis yang menuliskan hal ini :')

Sehingga orang-orang berduka dipaksa kuat, disuruh tidak berlarut-larut alih-alih mengobati dan validasi perasaan mereka.


Menurut studi, kedukaan adalah proses penyembuhan TRAUMA paling lama dibandingkan yang lain.


Suara yang Hilang

Sunday, July 24, 2022

Suatu waktu aku membaca sebuah tulisan dari lini masa media sosial kurang lebih begini bunyinya:

“Hal yang paling menyakitkan dari kehilangan adalah semakin lama hari berlalu, kita tak bisa lagi mengingat suara orang yang telah meninggalkan kita selamanya”

Seketika aku terdiam.

Aku mencoba mengingat suara bapak dan meyakini-dengan percaya diri- aku pasti mengingatnya.

Tapi ternyata…

Aku sama sekali tak bisa mengingat bagaimana suara bapak

Aku terkejut dan bahkan hari ini aku kembali menangis tersedu.

Ya Allah

Bagaimana mungkin aku tak bisa mengingat suara bapakku sendiri

Yang suaranya selalu menggema di dekat masjid-masjid rumah kami

Yang suaranya selalu terdengar saat berlatih sebelum menyampaikan materi ceramah

Yang hampir setiap hari selalu berbicang dengan tamu-tamu beliau yang datang ke rumah

Yang selalu menjadi imam kami saat salat

Yang selalu membaca doa ketika kami masih kanak-kanak

Bagaimana aku tak bisa lagi mengingatnya disaat bapak adalah orang yang suaranya terdengar dimana-mana, ya Allah?

7 hari lagi adalah tepat setahun kepergian bapak

Entah waktu yang cepat atau lambat untuk menerima kehilangan ini semua

Tapi sesak di dadaku masih sama ya Allah

Proses menerima kehilangan ini sungguh tak mudah

Setiap kali aku mengingat aku tak lagi memiliki sosok ayah, hatiku hancur

Lebih-lebih sekarang akupun tak bisa lagi mengingat suara beliau :((

Ya Allah hatiku…

Tutur Kata

Sunday, February 6, 2022

 Kenapa ya manusia itu cenderung lupa kalau dirinya tuh berawal dari "nggak punya apa-apa" dan "nggak bisa apa-apa?"


Tapiiiii, pas Allah udah kasih kemudahan, kelebihan dan rezeki (kadang) adaa aja tu mulut nyakitin orang lain.


CONTOH:


Pas uda dikasi rezeki bayi sama Allah eh ngecengin temennya yang belom punya bayi -> 

'Emang kamu bisa gendong bayi?'


Jago banget masak eh ada temennya baru mau coba belajar masak di ledekin 'Emang kamu bisa masak?'


Pas udah berhasil lulus kuliah terus nyinyir temennya yang lagi stress skripsi -> 'udah santai aja skripsi juga ntar kelar gausa overthinking lah'


Pas udah tahu sesuatu hal / istilah X yang mungkin asing, pas temennya belum paham eh disudutin -> 'masak gatau sih itu gampang banget'


Tau nggak? Kalimat-kalimat tersebut tuh nggak cuma menyakiti orang lain, tapi juga menunjukkan  adanya kekosongan empati dalam diri. 

Bikin orang orang lain jadi insekyur bahkan bisa mematikan kepercayaan dirinya.


Lagian, apasih yang mau di sombongin dari apa yang kita punya/bisa saat ini?


Hey, kita semua tu punya masa lalu.

Pernah nggak bisa. Pernah nggak tahu. Pernah bodoh juga.

Wong jalan sama makan kalo kita dulu nggak di didik sama ibu bapak kita yo nggak bisa.


Processsssssssssssssssss

Manusia itu berproses. 


Kita sekarang berhasil lewatin masa sulit garap skripsi dulu juga pernah kali stress bego ngerjain skripsi

Kita sekarang satsetsatset gendong bayi dulu juga berawal dari kaget bingung jadi mama baru

Kita sekarang tahu istilah abcd dulu juga awalnya pasti gatau, tau dari googling/belajar dari oranglain

Masak pun demikian. Dan apapun dehhh kita semua itu berawal dari 0 

Apeee apeee yang mo disombongin? :') 


Mari jadi pengingat, bahwa apapun yang kita miliki sekarang semua cuma titipan. JUSTRUUU titipan ini tu bisa jadi ladang pahala kalo kita bisa empati sama orang lain. Kasih support, kasih bantuan, ngajarin. Jadi ilmu toh?


Kalau gabisa ngomong baik, diem.

Kalo gabisa support, Doain.


Budaya ngomong seperti contoh-contoh diatas tuh banyak banget! Bukan dari orang tua, justru dari yang muda-muda. Circle teman2 terdekat bahkan. Yuk sama-sama belajar mengurangi mengutarakan kalimat yang gaenak.


Again,

Kalau gabisa ngomong baik, diem.

Kalo gabisa support, Doain.

Grieving

Sunday, January 23, 2022


Kehilangan adalah keniscayaan.

Yang akan datang menghampiri SIAPAPUN dan menyimpan sesak entah sampai kapan.


Aku tidak tahu bagaimana mendiskripsikan perasaan ku setelah kehilangan bapak, bahkan setelah hampir setengah tahun berlalu.


Aku masih merangkak, berjalan begitu lambat untuk melangkah 'mau ngapain melanjutkan hidup'


Kedukaan karena kematian adalah ujian paling 'kurang ajar'.


Kita dipaksa untuk ikhlas dan menerima yang bahkan otak dan hati kita begitu terlunta-lunta mendefinisikan kematian itu sendiri.


Aku juga tidak bisa menggambar kan dengan jelas bagaimana rasanya.

Karena sedih dan menangis tak akan pernah cukup mewakili kecamuk hati yang begitu perih mengiris.


Dadak ku sesak jika harus mengingat momentum kepergian bapak.


Lantas, bagaimana mungkin orang lain memintaku 'melupakan?' 

Jika tak ada satu hari pun yang kulewatkan untuk memikirkan bapak


Dalam doa selalu teringat

Memohon pada-Nya untuk dilapangkan kubur nya.


5 waktu. Setiap hari.


Maka tak ada kata dan kalimat yang bisa mewakili perasaan ini selain, 


Kehilangan, kedukaan karena kematian adalah trauma yang mungkin akan kita bawa seumur hidup.

Ujian yang Allah titipkan dengan bobot tak terhingga


Semoga Allah pulihkan segala sesak nya pelan-pelan...


19.55

Jan 22, 2022

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS