The Bad Words From Woman

Saturday, April 11, 2020

Aku akan memulai tulisan ini dengan sedikit bercerita. Tapi sebelumnya aku tegaskan, cerita ini bukan untuk menyudutkan siapapun. Kalaupun ada pihak-pihak yang merasa tidak nyaman, tidak setuju, iam sorry for that. Tapi cerita ini menurutku perlu untuk aku tulis, dengan harapan bisa sedikit menjadi bahan renungan, khususnya untuk sesama perempuan.

Beberapa waktu lalu, aku sempat mereply story salah seorang teman lamaku. Yaa biasa lah ngobrol sedikit sambil basa-basi sampek membahas masalah jodoh. Mungkin aku salah kali ya menjadikan topik 'jodoh' sebagai bahan untuk basa-basi (ya karena akupikir orang segedhe aku paham dong ya mana konteks basa-basi mana konteks pembicaraan serius). Tapi aku tidak menyangka reaksi yang aku dapatkan sungguh mencengangkan. Kurang lebih begini, "Luluk kayaknya sih santai ya (masalah nikah). masih mau karir dulu"
Alloh . . Tbh, aku marah (kala itu). Aku sangat tersinggung dengan kata-kata tersebut (kala itu).
Aku merasa kalimat tersebut bernada memojokkan seolah aku tidak mementingkan perkara menikah, dan mengutamakan karir diatas segalanya. Astaghfirulloh.

Buat aku, kata-kata tersebut nggak pantes keluar dari mulut sesama perempuan, apalagi aku yakin kita sama-sama orang yang sejatinya paham apa esensi menikah dalam pandangan Agama yang kita yakini. Kalau boleh mengeluarkan 'ledakan' kemarahan ku saat itu, aku akan marah dengan sebuah pertanyaan "why ? kenapa kata-kata ini keluar dari mulut perempuan ? dari mulut seorang ibu (well, temen gue udah punya anak), dari mulut seorang Muslimah yang paham Agama" ingin rasanya aku membalas dengan kata-kata tersebut, but i know, aku cukup dewasa untuk paham bahwa aku tidak boleh 'menyerang' seseorang dengan membawa identitas pribadinya. She is kind, she is still my friend, tapi aku sangat kecewa dengan perkataan dia, kala itu.

well kalau katakata "Luluk kayaknya sih santai ya. masih mau karir dulu" itu diucapkan saat usiaku masih 18 tahun, mungkin aku tidak akan tersinggung. Tapi kata-kata itu aku dapatkan disaat umurku sudah jalan 24 tahun :') disaat bahkan teman-teman kuliah ku yang younger than me udah pade mulai nikah, wajar nggak aku marah ? wajar nggak aku menjadi sangat inferior ?
ya ku manusia biasa bos, se baqoh-baqohnya aku menjadi perempuan, hatiku terbuat dari 'bahan' yang sama kayak Ibunda Hawa, kek tulang rusuk yang bengkok. sakit jugha dikatain begitu :')

Tapi mungkin ini ujian kesabaran buat aku kali ya, aku berusaha untuk menjawab setenang mungkin meski hati udah kek kebakaran hutan, so i said (-/+) "Kita nggak pernah tahu kan usaha dan ikhtiar seseorang? kita juga gapernah tahu bagaimana seorang hamba berdoa terus sama Alloh, nggak perlu diumbar-umbar juga kan?"

hehe

*tarik napas* *hembuskan*

Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa aku marah ?
Karena aku nggak mengerti, apakah ketika aku memiliki cita-cita yang tinggi aku tidak pantas untuk menikah dan punya anak ?
apakah serendah itu aku menjadi seorang perempuan hingga aku sangat tidak layak untuk menyandang gelar sebagai seorang istri dan ibu nantinya ?
(OMG, its hard for me, nulis nya sambil gemeter pengen nangis)
aku merasa sangat inferior kala itu. menjadi sangat sedih, minder, hampir-hampir merasa nggak pantes jadi perempuan 'seutuhnya nantinya' :(

aku tidak perlu kan menjelaskan 'aku paham kok kodrat wanita harus melahirkan menyusui, dll' atau 'aku tau kok tugas seorang istri kan melayani suami' 'aku ngerti kok batas istri dan ibu mana yang boleh dan nggakboleh mana yang menjadi prioritas mana yang bukan'
aku nggak perlu kan mendeklarasikan kalau aku paham ? karena toh paham atau tidak paham, bukankah sesama perempuan tidak sepantasnya menjatuhkan ?

*tarik napas* *hembuskan*

Tapi yasudahlah, nggak papa, aku tidak berlarut dalam lubang sakit hati kok, aku berusaha untuk pelan-pelan membangun rasa percaya diriku kembali sebagai seorang perempuan, toh mungkin melalui ini semua Alloh pengen ngajarin aku bagaimana seharusnya Muslimah berbicara yang baik terhadap Muslimah yang lain, bagaimana seharusnya kita menjaga lisan ketika berkata, bagaimana kita perempuan seharusnya mengedepankan adab dan etika dalam berucap.
Mungkin ini teguran juga dari Alloh karena di masa lampau aku juga pernah serampangan dalam berbicara kepada sesama perempuan.

*tarik napas* *hembuskan*

Bicara tentang perempuan, dan hubungannya dengan kehidupan menikah memang nggak ada habisnya, tapi justru karena nggak ada habisnya-lah seharusnya kita terus belajar menjadi perempuan yang lebih baik
So please, melalui tulisan ini aku berharap kepada sesama perempuan, yuk mari jangan saling menjatuhkan, jangan saling menyudutkan, alih-alih menyemprot luka, mengapa tidak kita menebar cinta ? Saling dukung, saling bantu, saling ngedoain yang baik-baik.
kurang-kurangin lah itu memberikan pertanyaan dan pernyataan yang bisa berpotensi bikin orang sakit hati. Terlebih mungkin bagi teman-teman perempuan yang sudah berkeluarga, berikanlah contoh yang baik, plis tolong banget jangan sekali-kali ngasih kalimat-kalimat yang nggak enak. diskusi boleh, ngasih nasihat boleh pakek banget. dan kita itu sangat terbuka mendengar berbagai cerita dan masukan, aku sering juga kok sharing atau sekedar mendapat cerita dengan kakak kelas atau teman yang sudah menikah. Semuanya menyenangkan untukku karena aku merasa seperti dikasi kuliah keluarga secara gratis. Tapi ya itu tadi, tolonglah jangan gunakan kalimat-kalimat yang menyakitkan hati. Kita sesama perempuan seharusnya saling menguatkan kan ?

Perempuan Pendidik

Friday, April 10, 2020

Beberapa waktu lalu, aku ikut sebuah diskusi dan kajian online bertemakan perempuan.
Biasanya, kalo ada diskusi atau kajian dengan tema-tema perempuan andrenalinku untuk membrondong pertanyaan kepada narasumber sangat besar. Karena biasanya isu yang dibahas 'itu-itu aja' kayak misalnya perempuan bekerja vs perempuan IRT yang menurutku *mohon maaf udah sangat basi untuk diperdebatkan.
Tapi kemarin, ada 1 pernyataan dari narasumber diskusi yang menurutku menarik bangettt untuk kita renungkan sebagai seorang perempuan, terutama untuk kita para Muslimah (yang memiliki orientasi utama pada nilai-nilai Agama Islam)

Aku tidak terlalu ingat persisnya, namun kurang lebih narasumber ini memaparkan tentang fenomena kerisauan para ibu-ibu dalam mendidik anaknya ditengah pandemi ini. Konon beberapa ibu-ibu ini 'mengeluh' susahnya ngajarin anak :")
Tapi uniknya, nggak cuma mamak-mamak nya aja yang sambat, aku sempat baca pula (tapi lupa baca dimana, kalo misalnya salah mungkin nanti bisa dikoreksi ya) ada beberapa anak yang 'mengeluh juga' merasa ibunya 'ternyata' lebih galak dari gurunya, atau nggak se sabar gurunya atau ya mamaknya beda lah kayak gurunya.

So, timbulah pertanyaan 'why'

Lengkap sudah pikiranku terbawa melayang untuk merenungi banyak hal.
Kali ini aku sepakat, bahwa menjadi perempuan sekaligus ibu yang berdaya dan berkarya dengan lautan impian sah-sah saja untuk dilangitkan, tapi utamanya 'memutuskan menjadi seorang ibu' maka wajib hukumnya berdedikasi penuh menjadi pendidik terbaik untuk anak-anaknya.

Dan ternyata!! Mendidik anak tidak semudah itu, Mahmudah.
Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, strategi, kecukupan ilmu, kreatifitas dan mungkin segudang skill-skill lainnya (yang ternyata akupun masih sangat minim pengetahuannya)

Sebagai perempuan muda yang belum menikah dan punya anak, Mari kita merenung sedikit.

Ketika kita memutuskan untuk menikah dan punya anak (nantinya), MAKA, kita punya PR dan tanggung jawab besar untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Termasuk mendidik mereka dengan pendidikan terbaik.

Dan well, sebenernya ini unek-unek ku sih. Kadang kita perempuan muda nih tabu banget soal beginian. Merasa bahwa belajar menjadi istri dan ibu itu nggak penting, nggak perlu, nanti aja, masih lama, dst. Padahal kalau dipikir-pikir sayang banget nggak sih ? Kalau kita masih muda, masih punya banyak pilihan dan kesempatan kenapa nggak mencoba untuk mempersiapkan ?
Sedihnya, kadang kita merasa "ah nanti juga bisa." Atau "gaperlu lah siap-siap, dah bisa kali" FAKTANYA membangun rumah tangga saja susah guys apalagi ngedidik anak :') emak bapak kita yang udah veteran jadi orang tua aja, aku yakin beliau-beliau juga masih belajar gimana cara menjadi orang tua yang baik :")

Its okay kalau kamu merasa belum siap untuk menikah atau punya anak, nggak papa. Tapi justru karena belum siap itu makanya perlu persiapan.
Serius deh. Aku nggak sepakat banget sama orang-orang yang bermudah-mudahan untuk ngejudge sharing diskusi parenting dan pra nikah disama artikan dengan kebelet nikah.
Nggak, beda ya! Kebelet nikah itu kalau status nya isinya galau mulu, nge kode mulu, pamer foto bareng die mulu ya kalo begitu, mungkin pantas disebut kebelet nikah.
Tapi kalau sifatnya belajar, ikut seminar pra nikah, ikut kajian parenting, it's good i think!
Karena ibarat mau UN, kalau pengen nilainya bagus ya belajarnya kudu serius, persiapannya kudu matang. Apalagi rumah tangga, apalagi ngedidik anak.
Karena kalo kita berumah tangga orientasi nya surga, kepengen punya anak keturunan macam Muhammad Al-Fatih ya mana bisa tanpa persiapan ? :))
Ya nggak ?

Jadi please, cukuplah fenomena kegalauan mamak-mamak dan anak-anak sekolah ditengah pandemi ini menjadi pembelajaran untuk kita, bahwa tidak ada salahnya buat kita yang muda-muda ini mencari tahu bagaimana pola pendidikan yang baik untuk anak-anak. Tidak ada yang tabu bila itu untuk mempersiapkan diri. Sepakat ?

Percayalah seorang anak yang hebat juga lahir dari rahim seorang ibu yang hebat.
Sebagaimana Maryam mencintai Isa, sebagaimana Asiyah berkasihsayang kepada Musa.

Jika memiliki anak seperti Muhammad Al Fatih adalah sebuah harapan, maka tidak ada alasan untuk tidak mempersiapkan. Semoga anak cucu keturunan kita bisa menjadi generasi terbaik, kelak menjadi pejuang bisyarah Rasulullah membebaskan Roma Barat, Insyaa Alloh :")
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS