Wong Kok Dibanding-bandingke? Yo Mesti Salah Teros

Saturday, September 10, 2022

Walaupun bukan artis, tapi ternyata keputusan-keputusan hidup kita itu legit banget loh, buat dijadikan bahan greneng-greneng orang lain. Entah sanak saudara, tetangga, ataupun teman.
 
Kalau sekarang acara TV lagi ramai Endonesia Mencari Bakat, nah mungkin kehidupan kita tuh dibuat seolah-olah lagi ikut kompetisi.
 
Ada peserta
Ada cerita
Ada komentator
 
Kita adalah peserta
Hidup kita adalah cerita
Nah komentatornya nih macem-macem. Mulai dari keluarga, saudara, teman, sampai tetangga. Macem-macem pokoknya.
 
Uniknya, kalau soal ngomentarin orang lain kayaknya kita udah nggak kenal istilah introvert dan ekstrovert. Nggak kenal si pemalu dan si pemberani. Nggak kenal waktu, tempat, keadaan, bahkan etika. Boro-boro mikirin perasaan orang lain?
 
Pokoknya semua auto ekstrovert. Jago dan ber energi bangettt buat ngoceh dari A-Z (apalagi ghibahin orang lain)
 
*
 
Mari kita mengingat masa-masa dahulu saat kita masih sekolah.
Mungkin kita mulai dari zaman kita Sekolah Dasar dulu
 
Nggak cuma generasi alpha lho yang berat dengan gempuran teknologi penuh disrupsi.
Gen Z dan milenial 90an itu ya ada situasi berat di masanya.
 
Pertanyaan "piye nduk/le entuk rangking piro neng sekolah" ini sesungguhnya bikin keri (geli dalam bahasa Jawa) anak-anak SD di zamannya.
 
Udah gitu yang nanya mulai dari mbah, sepupu, budhe, pakdhe, om, tante, sampe tetangga-tetangga juga kepo.
 
Kalau kebetulan pinter dan dapet 10 besar mah santai ya. Yang agak sial itu kalau ranking 17 murid nya 20.
 
Mau dijawab takut dikira bodoh, gak dijawab takut dikira gasopan.
 
Akhirnya cuma nyengir pahit sambil jawab 'gak dapet 10 besar'
 
Lalu . . .
Apakah masa SMP akan tenang begitu saja? Ternyata tidak Fergusooo …
Pertanyaan 'ranking-rankingan' ini bakal terus berlanjut selagi kita sekolah.
 
Bahkan, di penghujung SMP nanti, kita juga mendadak menjadi artis.
Bakal ditanya sama warga +62 dengan pertanyaan begini kira-kira:
'lulus UN NEM nya berapa?'
'nglanjutin di SMA mana?'
Sebenernya pertanyaan ini nggak terlalu mengganjal sih ya, kecuali dilanjutkan dengan pertanyaan 'oh swasta? Kenapa nggak negeri?'
Biasanya disini bapak-bapak ibu-ibu, om, tante, pakdhe dan budhe itu bertanya pertanyaan yang sebenernya UDAH TAHU JAWABANNYA alias ya NEM nya nggak nyampek. Atau KK nya diluar kota jadi standar nilainya lebih tinggi dan sulit (mungkin kalo zaman sekarang istilah nya zonasi)
 
Konon katanya, kalo sekolah nya negeri favorit bisa masuk univeritas bagus.
Inilah kenapa keberadaan SMA kita seolah-olah jadi faktor penting menentukan masa depan.
 
Nggak berhenti sampai situ.
Nanti ketika masuk SMA perkara IPA IPS juga jadi urusan pelik dan selalu diperbedatkan.
 
Alasannya dua hal:

  1. Anak IPA lebih pinter
  2. Anak IPA nanti kuliahnya bisa milih, bebas kalo IPS jurusannya terbatas.

 
Belum berhenti, begitu kuliah, perkara kampus swasta/negeri dan jurusan pun nggak luput dari beragam komentar.
 
Kamu kuliah dimana, jurusan apa selalu jadi persoalan yang seru buat dicari celah dan kurangnya.
Kuliah teknik dibilang 'lapangan kerja terbatas, persaingan ketat'
Kuliah sejarah dibilang 'gapunya masa depan'
Kuliah swasta dibilang 'susah cari kerja'
 
Wes pokoke reno-reno (macem-macem).
 
Nanti di penghujung kuliah ujiannya masih panjang . . .
Telat lulus jadi bahan omongan
Cepet lulus belum dapet kerja juga makin jadi omongan.
Kerja swasta dikatain
Kerja PNS (ada juga si yang ngatain)
 
Ini kalau dilanjutin lagi panjang nih.
Perkara lamaran, nikah, punya anak, didik anak, anak kedua, ketiga, dst beuuhhh banyak ngetssss cela kita idup kayak apapun pilihan atau takdir hidup kita semua serba salah.
 
Mungkin salah satu penyebab orang mudah insecure adalah keadaan lingkungannya yang nggak bisa mendukung penuh pilihan/jalan hidup seseorang.
 
Kadang kita terlalu kepo, nggak sengaja menilai 'takdir' orang lain dengan bias-bias yang kita 'anggap lebih baik'
 
Padahal yaaaa …. Kita ngga tahu juga
 
*
 
Mungkin komentar-komentar dan pertanyaan-pertanyaan kehidupan seperti ini sudah menjadi budaya besar warga +62.
 
Tapi mungkin kita perlu merenung sejenak …
Sebelum buru-buru ngomentarin pilihan hidup orang lain atau mencetuskan pertanyaan yang nggak penting-penting amat
 
Kenali orangnya sebelum bertanya
Pikir lagi sebelum bermudah-mudahan memberikan penilaian orang lain,
 
Karena . . .
 
We never know, how hard some people fight for their life.

Menyaksikan Keranda Setelah 1 Tahun Kepergian Bapak

Saturday, September 3, 2022

Kemarin adik bapak meninggal dunia.

Sesungguhnya aku tidak cukup siap jika harus bertakziah.

Sudah satu tahun aku nggak pernah takziah bukan karena nggak mau, tapi nggak siap :')

Ada sesak di dada yang begitu besar, kadang bercampur marah.

Tapi apadaya, ini adek bapak, tidak mungkin jika tidak takziah.


Benar, lagi-lagi hati yang masih basah dengan luka ini kembali pecah


Dalam hati aku menangis


Ya Rabb

Begitu indah kematian ini disaksikan oleh keluarga, tetangga, saudara, kerabat, dan teman yang begitu menyayangi

Seluruh anak berkumpul dan mengangkat keranda

Ramai sekali orang-orang saling menguatkan keluarga yang ditinggalkan, bergantian mensalatkan, dan lisan yang tak henti mendoakan


Aku iri dan sesungguhnya tak sanggup menyaksikan semua ini


Aku tahu tidak ada kematian yang 'lebih mending'

Semua kematian adalah kepahitan tak terkira bagi siapapun yang ditinggalkan

Kematian menjadi luka menganga bagi siapapun yang kehilangan


Tapi ya Rabb dengan segala kekurangan diri dan kelemahan iman

Aku selalu merasa semuanya terlalu sulit untuk kupahami hingga hari ini


Mengapa aku harus merasakan kehilangan dalam situasi yang sangat menakutkan? 


Adik bapak yang lain kemarin bilang "anak-anak pak Ali pas nggak ada  nangis kabeh"


Ya Tuhan, bahkan air mata itu sudah kutahan-tahan.

Aku sudah menanggalkan perasaan sedihku demi terlihat kuat dan ikhlas


Bagaimana aku tidak menangis?


Aku harus sekuat tenaga menghibur diri sendiri, SENDIRI.


Tak ada satupun dari kami yang menyaksikan kematian beliau, aku bahkan tak tahu keranda bapak ku sendiri, cuma bisa nyolatkan sebentar itupun DIJALAN

Setelah itu?

Kami menutup rumah rapat-rapat, hingga hari ini . . .


Beberapa bulan setelah bapak nggak ada seorang teman berkunjung


"Hawanya beda ya Luk, keliatan masih sangat berduka"


Duka itu selalu ada, pintu yang dahulu selalu terbuka, kini tertutup rapat karena penghuninya-pemiliknya telah tiada


Kalau kata Ustaz Abdul Somad 'kehilangan itu akan hilang seiring berjalannya waktu HANYALAH omongan teori dari orang yang nggak pernah kehilangan'


Orang yang berduka itu hatinya sangat sensitif.


Inget dikit bisa nangis, inget dikit bisa sedih


"Tapi kok kayaknya si A, B, C biasa-biasa aja ya?"


Karena mereka memendamnya. Nggak semua orang bisa memahami kedukaan orang lain, sedangkan kedukaan itu perlu disaksikan.


Setelah bapak nggak ada, aku selalu senang dan tenang menulis tentang kedukaan.

Karena rasanya berat banget banget tapi nggak banyak orang bahkan penulis yang menuliskan hal ini :')

Sehingga orang-orang berduka dipaksa kuat, disuruh tidak berlarut-larut alih-alih mengobati dan validasi perasaan mereka.


Menurut studi, kedukaan adalah proses penyembuhan TRAUMA paling lama dibandingkan yang lain.


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS