Tentang Memosting

Thursday, April 18, 2024

2014…

Saat aku gagal masuk universitas impianku, dunia hari itu seakan runtuh. Malu luar biasa. 
Aku merasa Allah sama sekali tidak melihat berjengkal atau bahkan bergunung-gunung usaha yang ku lakukan.
Aku les hampir setiap hari sampai malam, menggunakan waktu libur buat belajar dan les, berdoa, bahkan mencari sumber kekuatan dengan ragam motivasi di internet. Saat aku memilih universitas, aku bukan cuma modal ‘kepengen’ atau ‘ngasal’. Sejak usia remaja, aku sudah biasa riset. Mencari informasi di internet se detail mungkin. Sehingga apa yang ku pilih, tentu sudah melalui pertimbangan yang panjang juga ikhtiar yang yang bukan sembarangan. 

Saat gagal? 
Aduhai Allah, bahkan sudah 10 tahun berlalu kadang hati ini masih terbesit ngilu “gila ya” pekikku dalam hati. 

Aku mengurung diri, meratapi kesedihan yang begitu menyakitkan. Setahun aku mengurangi intensitas bertemu banyak orang. Lebih baik meminggir, menyembuhkan luka kegagalan perlahan.

Saat itu, setiap membuka twitter aku sedih bangetttttttttt. Bukan tidak senang melihat orang lain berbahagia, bukan iri atau dengki dengan pencapaian orang, sungguh bukan. Tapi perasaan ini sakit ini datang begitu saja. 

Sejak saat itu, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak terlalu buru-buru membagikan kebahagiaan atau pencapaian apapun yang kelak aku dapatkan di kemudian hari. 

Bukan apa-apa, hanya saja kegagalan ini cukup memberiku pelajaran untuk lebih menghargai perasaan orang-orang yang kecewa. 

2015…

Aku mencoba kembali peruntungan ikut test masuk perguruan tinggi negeri. Kali ini, aku turunkan sedikit standar universitas yang kupilih. 

Singkat cerita, aku diterima. Ada beberapa teman yang bertanya dan pada akhirnya kepindahan ku di universitas lain diketahui oleh satu per satu temanku. 

Tapi seingatku, aku tidak gembar gembor dan posting macam-macam di sosial mediaku (seingatku ya). Bahkan temanku SMA baru tahu aku pindah kampus, saat aku duduk di semester 5.

***

Apakah memosting kebahagiaan sesuatu yang salah? Apkah tidak boleh kita sekadar berekspresi? Menunjukkan rasa syukur? Tentu boleh. Bukan tugasku menjadi judges yang bisa mengatur mana yang lebih baik/bukan

Hanya saja, sedikit menahan untuk menghormati perasaan orang lain ternyata melegakan juga. 

Akupun tidak pernah merasa masalah ketika ada teman-teman yang posting potongan-potongan kebahagiaan mereka seperti master graduation, lamaran, nikahan, lahiran, jalan-jalan ke luar negeri, nunjukin harta yang dia punya, atau bahkan foto keluarga lengkap disaat w udah ngga punya bapak, buat aku semuanya sah-sah saja. 

***

Pengalaman seseorang selalu menjadi refleksi kehidupan dan keputusannya di masa sekarang.

Tapi sebenernya jadi orang misterius dan sedikit tertutu  tu lumayan menyenangkan ya. Hehe

Tapi tidak soal konsep berpikir. Menurutku konsep berpikir tidak seharusnya dipendam. Pemikiran harus dikeluarkan, diadu, agar ummat tidak terus-terusan tertidur. 
Lah kok malah jadi sampe ummat sih (?) Hehe.

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS