Sebenarnya, aku marah dengan banyak orang yang memilih diam dan tidak mengambil peran untuk menyuarakan Palestina. Termasuk keluarga dan teman-teman ku sendiri. Aku kecewa, meski tidak mengatakannya secara langsung.
Kali ini, untuk Palestina, kita seharusnya bergerak dengan terang-terangan, menyebarluaskan amalan ke-Palestina-an sekencang mungkin, dan TIDAK MEREMEHKAN usaha sekeciiil apapun, termasuk bersuara.
Bukankah memang sudah saatnya ummat Islam bersatu?
Jika kita terus terbelenggu dalam pikiran yang egois, tidak menjadikan issue Palestina sebagai sesuatu hal yang penting, lantas mau sampai kapan kamu melihat ummat Muhammad terus dibantai dan dibunuh?
***
Saat melihat bayi-bayi mati tergeletak di tanah, anak-anak yang menjerit kelaparan, bocah-bocah lugu tanpa dosa dibunuh? Siapa yang seharusnya berteriak paling marah?
Tentu, mereka yang menyebut dirinya “Ayah dan Ibu.”
Saat melihat orang tua dibuka bajunya, tersungkur, kesakitan, diperlakukan tidak patut. Siapa yang seharusnya paling marah?
Tentu, mereka yang menyebut dirinya “anak”
Saat melihat perempuan suci dilecehkan? Laki-laki penuh kehormatan dilecehkan?
Siapa yang seharusnya paling marah?
Ayah, ibu, saudara kandung, kerabat, isteri dan suami tentu menjadi orang yang siap menyambit mereka dengan celurit panjang.
Saat para dokter, nakes, paramedis disandera diancam kehidupannya?
Siapa yang seharusnya terusik?
Tentu seharusnya mereka yang menyebut dirinya “sejawat”
Saat para jurnalis dibunuh, dibungkam suaranya
Siapa yang seharusnya paling marah, protes, dan geram?
Tentu seharusnya ‘sesama’ jurnalis yang paling lantang menyuarakan solidaritas.
Para ibu dan perempuan yang tidak punya ruang aman untuk melahirkan, mengasihi, dan HAID
Siapa yang seharusnya paling marah?
Para perempuan, organisasi keperempuanan, bukan?
Lalu, sesungguhnya apa & bagaimana peran kita semua?
Bukankah kita sebenarnya juga menggenggam peran yang sama dengan mereka, lantas mengapa memilih bungkam? Dan aduhai enak sekali menjadi penonton pembunuhan
Sekali lagi,
Bukankah seharusnya kita menjadi orang paling yang geram, terusik dan marah?
Bahkan b*j*ng*n tak akan pernah cukup untuk menggambarkan kebiadaban Z10n15.
Sayang,
Nurani (kita) lumpuh, Iman dan islam pun rapuh.
Jangankan berbicara tentang ‘pembebasan’ Al Aqsa, jauh sekali rasanya.
Lawong membicarakan dalam ruang "kemanusiaan saja" kelu.
Aku pun hanya bisa mengaminkan, mengakui kelemahan,
Dimana ummat Muhammad?
Ia banyak, namun seperti BUIH DI LAUTAN.