Hari ini aku lagi scrolling tiktok dan tiba-tiba nemu kumpulan slideshow komentar entahlah dia siapa (tapi mari kita sebut saja netizen) yang membully seorang ibu yang selama ini aktif di kegiatan Kamisan di Jakarta.
Kita semua tahu aksi ini menuntut adanya 'tindak hukum' yang terjadi pada pelanggaran HAM berat. Salah satunya adalah ibu ini (yang ada dalam konten tersebut).
Sejujurnya, buat orang yang cukup aware dengan aksi tersebut, wajah ibu ini udah nggak asing wira-wiri di jagad media.
Anaknya hilang akibat tragedi 1998. Sampai sekarang ibu ini sama sekali tidak tahu apakah anaknya masih hidup/tidak karena even mati, ia tak pernah tahu 'jasad' si anak ini.
Well, aku tahu sebenernya nggak guna-guna amat membahas konten dari potongan tiktok macam begitu. Apalagi dikaitkan sama politik.
Tapi aku mau membahas karena sadar penuh, di luar sana, faktanya ada banyak orang yang masih buta memahami perasaan kedukaan orang lain. Nirempati, sulit mehargai perasaan orang yang kehilangan.
Aku tidak akan membahas dari segi politik/hukum/tragedi yang terjadi. Bukan kapasitasku karena aku tidak sepintar itu untuk beropini macam Rocky Gerung atau Haris Azhar.
Tapi mari kita lihat dari sisi humanis. Sisi kemanusiaan kita sebagai sesama MANUSIA. Terlepas anda tidak bersepakat dengan tendensi politik, orang yang kita sebut 'nenek' ini adalah seorang IBU yang kehilangan anaknya.
Apa yang beliau lakukan -even anda tidak sepakat dengan caranya- adalah SATU DARI SEKIAN BANYAK USAHA yang coba beliau lakukan untuk mengurai perasaannya.
Apakah kamu pernah membayangkan melihat anakmu, ayahmu, ibumu meninggal tanpa kamu bisa tahu jasadnya?
Jangankan tahu jasadnya, entah mati atau hidup pun kamu tak tahu. Bertahun-tahun hidup dalam pengharapan yang cuma andai-andai.
Tanpa merasa paling sok tahu dan bersedih atas ragam duka, tapi aku pun tak pernah melihat jasad bapakku saat meninggal. Kerandanya pun tidak. Hanya mobil ambulan keparat yang bisa kutatap dari jauh.
Itu saja sudah pedih teramat sangat.
Sungguh, jika anda tak bersepakat dan beranggapan kedukaan ini adalah tunggangan politik, jangan pernah membuat mata hatimu buta bahwa tidak akan pernah mudah manusia melewati ujian kehilangan.
Aku, jika mengingat bagaimana perlakuan bid*n sialan yang seharusnya bisa segera menolong bapakku tapi malah bersikap angkuh dan tidak profesional, sampai detik ini masih dendam kesumat. Mataku masih berair, dadaku sesak, isi kepalaku penuh dengan amarah.
Tak jarang, ada perasaan menyesal mengapa aku diam dan mengalah. Seharusnya aku samperin orang tersebut dan ku obrak abrik meja kantornya. Setidaknya, rasa sakitku tersalurkan dengan baik.
Perasaan, pikiran atau sikap seperti inilah yang kadang menggelayuti orang-orang yang kehilangan. Dan setiap penyintas, memiliki 'ceritanya' sendiri.
Begitupun dengan ibu tersebut. Orang yang berdiri dengan rambut memutih tersebut, hanyalah seorang ibu yang seharusnya perasaan kehilangannya kita validasi bersama sebagai sesama manusia. Apa yang beliau lakukan adalah efek dari hantaman perasaan sakit dari kehilangan.
Terlepas apapun kalian memandangnya dalam kaca mata politik, perasaan duka tak pernah berbohong.
Untuk jari-jari, mata-mata, lisan-lisan yang saat ini -kebetulan- masih penuh kesempurnaan, sulitkah untuk sekadar menahan dari berkata buruk?
Tak adakah ruang aman bagi mereka yang kehilangan hanya untuk sekadar dihargai perasaannya?
Berkali-kali aku berucap dan menulis.
Jangan pernah meremehkan kedukaan hingga saat giliranmu tiba, barulah kamu akan mengerti betapa menyakitkannya peristiwa 'kehilangan'.
No comments:
Post a Comment