Rinduku Dibayar Tuntas

Monday, November 18, 2024

Dengan bayang-bayangnya yang menari di pikiranku
Dengan tidur yang gagal nyenyak
Dengan senyum yang sepaket dengan airmata (juga)
Dengan teriakan-teriakan kecil yang kututupi dengan bantal
Dengan harap-cemas-harap cemas yang tak terhitung bilangnya

Siksaan yang indah, katanya.

Tentang Palestina, Siapa yang Seharusnya Paling Marah & Bersedih?

Sunday, November 10, 2024

Sebenarnya, aku marah dengan banyak orang yang memilih diam dan tidak mengambil peran untuk menyuarakan Palestina. Termasuk keluarga dan teman-teman ku sendiri. Aku kecewa, meski tidak mengatakannya secara langsung. 

Kali ini, untuk Palestina, kita seharusnya  bergerak dengan terang-terangan, menyebarluaskan amalan ke-Palestina-an sekencang mungkin, dan TIDAK MEREMEHKAN usaha sekeciiil apapun, termasuk bersuara. 

Bukankah memang sudah saatnya ummat Islam bersatu? 

Jika kita terus terbelenggu dalam pikiran yang egois, tidak menjadikan issue Palestina sebagai sesuatu hal yang penting, lantas mau sampai kapan kamu melihat ummat Muhammad terus dibantai dan dibunuh? 

***

Saat melihat bayi-bayi mati tergeletak di tanah, anak-anak yang menjerit kelaparan, bocah-bocah lugu tanpa dosa dibunuh? Siapa yang seharusnya berteriak paling marah?

Tentu, mereka yang menyebut dirinya “Ayah dan Ibu.”

Saat melihat orang tua dibuka bajunya, tersungkur, kesakitan, diperlakukan tidak patut. Siapa yang seharusnya paling marah? 

Tentu, mereka yang menyebut dirinya “anak”

Saat melihat perempuan suci dilecehkan? Laki-laki penuh kehormatan dilecehkan?

Siapa yang seharusnya paling marah?

Ayah, ibu, saudara kandung, kerabat, isteri dan suami tentu menjadi orang yang siap menyambit mereka dengan celurit panjang. 

Saat para dokter, nakes, paramedis disandera diancam kehidupannya? 

Siapa yang seharusnya terusik? 

Tentu seharusnya mereka yang menyebut dirinya “sejawat”

Saat para jurnalis dibunuh, dibungkam suaranya

Siapa yang seharusnya paling marah, protes, dan geram? 

Tentu seharusnya ‘sesama’ jurnalis yang paling lantang menyuarakan solidaritas. 

Para ibu dan perempuan yang tidak punya ruang aman untuk melahirkan, mengasihi, dan HAID

Siapa yang seharusnya paling marah? 

Para perempuan, organisasi keperempuanan, bukan? 

Lalu, sesungguhnya apa & bagaimana peran kita semua? 

Bukankah kita sebenarnya juga menggenggam peran yang sama dengan mereka, lantas mengapa memilih bungkam? Dan aduhai enak sekali menjadi penonton pembunuhan

Sekali lagi,

Bukankah seharusnya kita menjadi orang paling yang geram, terusik dan marah? 

Bahkan b*j*ng*n tak akan pernah cukup untuk menggambarkan kebiadaban Z10n15. 

Sayang,

Nurani (kita) lumpuh, Iman dan islam pun rapuh. 

Jangankan berbicara tentang ‘pembebasan’  Al Aqsa, jauh sekali rasanya.

Lawong membicarakan dalam ruang "kemanusiaan saja" kelu. 

Aku pun hanya bisa mengaminkan, mengakui kelemahan, 

Dimana ummat Muhammad?

Ia banyak, namun seperti BUIH DI LAUTAN.

Menangisi Palestina

Thursday, November 7, 2024

Aku selalu tidak kuat, saat mereka memekikkan kalimat:

“Akan aku adukan UMMAT ISLAM pada ALLAH”

“YAA RASULULLAH, JANGAN KAU BERIKAN SYAFAAT UNTUK ARAB, UNTUK MUSLIM, MEREKA MEMBIARKAN KAMI MATI.”

Aku takut. 
Aku takut menjadi salah satu dari mereka yang dikutuk karena membiarkan Palestina sengsara di bawah penjajahan. 
Aku takut, tapi bukankah kita semua pantas mendapatkan kemarahan dari rakyat Palestina? 😭

***

Di sisi lain,
Hati ku juga PORAK PORANDA, saat justru mereka yang memberikan penghiburan untukku, untuk kita. 

“Terima kasih” ucap mereka saat aku menjelaskan pada mereka bahwa aku dan teman-temanku memiliki project kecil-kecilan untuk raise awareness tentang Palestina. 

“Ayo bicarakan hal lain, aku selalu melihat kamu bersedih saat membicarakan tentang Gaza,” ucap seorang teman online menenangkanku dari Khan Younis, Gaza, Palestina

Bagaimana bisa mereka yang mencoba membesarkan hatiku disaat merekalah yang hidup jauh lebih sulit dariku. 

YA ALLAH
YA ALLAH
YA ALLAH
YAAA ALLAAAHHHHHHH 😭😭😭

Segerakanlah pertolongan-Mu. 

Redakan semua rasa sakit saudara-saudara kami di Gaza dan Palestina. Muliakan mereka, muliakan mereka, muliakan mereka Yaa Rabb


Mengapa Sulit Untukku Merasa 'Cocok'

Thursday, October 10, 2024

 Seramah-ramah nya aku, atau se se runya aku menurut orang lain, sebenernya aku tipe orang yang NGGAK GAMPANG COCOK sama orang lain. 


Kadang, aku juga mikir ‘kenapa ya aku bisa se susah ini orangnya?’


Banyak yang bilang aku ramah. Tapi ramah belum tentu gampang beradaptasi. Aku, termasuk slow learner. Lambat banget untuk menyesuaikan diri. Mungkin nggak terlalu kelihatan karena terkaburkan dengan sifat ‘ramah’ tapi sebenernya kalau aku nggak cocok sama orang, gak suka sama orang, super kelihatan. Simply, aku akan menghindar untuk ngobrol dengan orang tersebut, bahkan cenderung menghindari bertatapan mata dengannya.


Setelah mencoba mikir dan jujur sama diri sendiri, sepertinya kecenderungan nggak cocok sama orang ini adalah efek dari masa sekolah yang banyak nggak dapet tempat buat berekspresi. Hehe


Jadinya ya cenderung menarik diri, daripada “punya efek dibenci” tanpa punya kesiapan mental yang cukup. 


Dulu waktu kelas X SMA guru-guru tu demen banget suka nyuruh kita buat ngasih kritik dan saran ke temen satu kelas pakek kertas terus diputer-puter dan anonim. 


Kalau dipikir-pikir kenapa ya harus pakek kertas? Kenapa murid tu nggak diajarin cara ‘komunikasi yang baik’.


Di kertas itu, aku dapet banyak banget hujatan perkara “NGOMONG” (Orang gak suka banget aku bac*t)


Waktu SMA, aku juga pernah diteriakin cowok di depan muka ku kalau suaraku gak enak. (Dan laki-lai ini sekarang jadi suami temen deketku, LOL)


Pas SMP aku pernah nulis kritik buat guru-guru yang pakek jilbab pendek di mading, waktu itu salah seorang guru (yang aprecciate dengan karyaku) ngumumin kritik tersebut di ruang guru. Akhirnya, di pelajaran OR ada guru yang nyindir aku. 


Waktu SD, aku juga pernah “disidang” karena ada temen yang laporin nggak suka sama aku.


Aku punya fase ‘dibenci’ disetiap masa sekolahku. Walaupun, aku juga punya banyak berkat bakat dan prestasi non akademik. 


Walaupun sekarang aku dengan orang-orang problematik di masa SD-SMA biasa-biasa aja. 

Tapi tanpa aku sadari, kejadian-kejadian itu berdampak sedikit buruk padaku saat dewasa. 


Efeknya, benar-benar berasa ketika aku kuliah. Ketika justru aku punya banyak banget temen-temen baru yang seru, terbuka dan pinter, tapi keberanian berekspresiku justru hilang.


Aku takut, bahkan minder.


Dan mungkin sampai saat ini.


Aku merasa kekuranganku tidak diterima. 

Kelebihanku dianggap kekurangan. 


Sehingga aku cenderung menjauh dari orang yang tidak bisa menerimaku ‘sepaket dengan kekuranganku’.


Ketika aku bertemu dengan orang yang nggak bisa tulus sama aku, aku akan memilih pergi


Ketika aku bertemu dengan orang yang attitude nya minus, daripada kepentok dosa merasa lebih baik, aku lebih memilih pergi. 


Banyak terluka membuat aku sangat berhati-hati memilih orang yang masuk dalam kehidupanku. 


Lebih baik menyadari tidak cocok dan pergi, daripada memaksakan baik tapi hanya berujung terluka, sakit, berkali-kali. 


Aku benar-benar sangat berhati-hati.

Benang Ruwet di Kepala

Thursday, August 1, 2024

 Aku pikir, setelah bapak wafat pada Juli 2021, 3 tahun lalu (ah, cepat sekali ya waktu berlalu, padahal rasanya baru kemarin) ujian berat tidak akan datang ke kehidupanku. 


Aku pikir, ujian-ujian yang singgah akan terasa jauuuh lebih mudah. 


Iyasih, tapi ternyata ada juga ya fase capek dan lelahnya. Hehe


Sekarang aku paham, kenapa banyak orang yang memilih hidupnya private. Tidak ingin punya media sosial, nggak peduli sama orang lain, lebih baik menyendiri, menyibukkan diri dengan ‘egoisme’ pribadi. 


Terkadang memang menghilang itu menenangkan. 


Sepertinya benang ruwet dikepalaku sedang galak menyalak. 


Pusing sekali. 


Jalan mana yang harus ku tempuh? Apa yang harus ku lakukan? Bagaimana begini dan begitu?


Bising sekali. 

Is my wait worth it?

Thursday, May 30, 2024

Tidak menikah muda, selalu punya cela untuk "dicela"

Tapi dari celaan-celaan ini, lama-lama justru menjadi bahan renungan yang sering kurefleksikan. 


Jika tahun ini aku belum menikah juga, maka aku bisa jadi memiliki waktu kehamilan pertama di atas umur 30 tahun. Dimana secara medis ini beresiko. 


Jika aku tidak menikah di usia muda, artinya aku harus & akan bekerja lebih keras di usia tua pula, mengingat mungkin saat usiaku 60 tahun, anakku masih sekolah


Jika aku tidak menikah muda, kulit ku semakin keriput, tidak kencang dan "tidak menarik" akan semakin 'susah laku' kata orang. Ya memang benar sih. Gurat-gurat di wajahku mulai kentara. Artinya, aku butuh 'extra biaya' untuk merawat tubuh. 


Jika aku tidak menikah muda, otakku justru berkembang semakin dewasa dan logic. Semakin picky, semakin banyak yang dipikirin. Semakin sulit melihat "kecocokan" semakin realistis, tapi kalau kata orang sih 'semakin pilih-pilih'.


Apalagi ya? Banyak deh pokoknya...


So, is my wait worth it?


We never know


Karena kalau mau dicari "pembenarannya" dari beragam sisi, kita akan selalu punya pembenaran.

Mau dari sisi agama, ahli, opini atau apapun itu. 


Aku pernah berada di fase sangat marah ketika urusan rahim ku jadi bahan omongan orang.

Aku pernah di fase sangat menggebu-gebu kepengen nikah umur 19 tahun

Aku pernah berada di moment pengen banget nikah sampe mau nangis

Aku pernah ada pada fase super tersinggung ketika tubuhku dikomentari seperti 'barang dagangan'

Aku juga pernah di fase 'mager banget ngomongin nikah'

Pernah juga ada di fase 'sangat tidak memprioritaskan menikah atau bahkan yaudah lah kalo nggak nikah nggak papa'


Semua gronjalan masalah kawin, beragam opini mulai dari yang konservatif abis sampai pemikiran feminis-liberal sudah pernah keluar masuk otakku. 


Kalau mau cari pembenaran nikah muda ya ada

Kalau mau cari pembenaran 'nikah bukan masalah umur' juga ada

Kalau mau cari pembenaran kesiapan menikah under 30 ya ada

Kalau mau cari pembenaran 'nikah se siapnya, tidak masalah umur' juga ada


Semuanya kalau dicari untuk pembenaran, pasti ketemu. 


Sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa pembenaran tu bener-bener nggak penting dicari kalau hati kita nggak cukup bertaut pada Allah SWT. 


Karena ya jawabannya nggak ada yang pasti. 

Pembenaran-pembenaran ini ada karena informasi, pengalaman setiap orang yang berbeda. Mereka tumbuh, mendengar, melihat, mengumpulkan informasi dari kaca mata yang berbeda.

Manusia terlalu kecil untuk melihat 'keadilan' dengan 'kacamata yang bijaksana'.


Tapi Allah SWT nggak pernah menghakimi kita. Allah tu nggak pernah nggak adil sama ummat-Nya. 


Dan menurutku ini yang jadi PR berat. Mau santai atau mau galau, menurutku yakin sama Allah itu yang paling penting (sekaligus susah). 


Mengsampingkan "mana yang lebih baik" dari kacamata manusia 


Karena demi apapun, cuapeekkkkk bangettttttttttttttttttt. Manusia tu mau sebaik apapun, se bijak apapun, PASTI punya kecenderungan. Tapi Allah tu enggak. Kecenderungan-Nya tu ya "Sini-sini hambaku, kamu kenapa?" Allah ngedengerin kita tanpa nge judge. 


Sebenernya nggak cuma nikah, tapi dalam hal apapun mau kerjaan, anak, orang tua, hal receh pilih beli X atau enggak, better emang melibatkan Allah SWT. 


Mungkin bertanya pada ahli tu bagian dari ikhtiar ya, tapi seharusnya ikhtiar pertama tu ya nanya sama Allah SWT. 

Allah yang lebih tahu jawabannya.


Seorang ustaz pernah ngasih penjelasan yang bagus bangettttttttt, kira-kira begini:


Kita itu nggak akan pernah "dihisab" sama apa yang menjadi takdir kita. tapi kita akan "dihisab" sama apa yang kita lakukan di dunia ini. 

Fokus kita tu cuma di "hasil" tapi dalam menjalani proses nya justru nggak pernah kita perhatikan, padahal 'proses' yang akan dihisab. 


So, is my wait worth it?


We never know, mungkin tulisan ini akan bersambung dan berkembang


BUT 1 thing is remembered


At the end of the day, for everthing that we do, did or wait, everything will be worth it if the process is always get closer to good things. 


Saling ngedoain untuk hal-hal baik, semoga apa yang kita kerjain di dunia ini semuanya WORTH IT. Aamiin

Dear My Future Husband

Saturday, May 25, 2024

Untukmu orang yang memilihku, dan ku pilih dengan penantian yang panjang

Dengan istikharah yang berulang-ulang

Dengan restu ibu dan waliku

Dengan doa yang kusambung dengan penuh kesabaran, ketenangan, bahkan mungkin sesekali dengan sekaan air mata.


Aku, perempuanmu

Bantu aku untuk berubah menjadi taat dan baik dengan versi terbaik

Bantu aku menjadi perempuan yang engkau ridhai lahir batin dunia akhirat

Bantu aku menjadi isteri, sekaligus ibu yang bisa menjadi “rumah” terbaik untukmu, juga anak-anak kita

Bantu aku menjadi anak sekaligus mantu yang bisa hormat dengan kedua orang tua kita

Bantu aku menjadi perempuan-mu yang kau banggakan, kau cintai dengan penuh dan utuh

Bantu aku menjadi salehah


Wahai laki-laki yang ku pilih menjadi masa depanku,

Rumah tangga kita mungkin tidak 100 persen sempurna

Mungkin kekuranganku, lisan perbuatanku, aibku sungguh banyak

Mungkin engkau akan menemukan kecewa dalam diriku

Mungkin engkau akan menemukan ekspektasi yang membuatmu sedih

Mungkin engkau akan menjumpai kerikil-kerikil kecil dalam menjadi pemimpin

Tapi bolehkah aku memohon untuk tidak menyerah?

Maukah engkau menggengam tanganku untuk bersama-sama melewatinya?

Maukah engkau membimbingku dengan penuh kelembutan dan penghormatan?

Sebagaimana Rasulullah mencintai Khadijah dan Aisyah?


Kau ku pilih dengan penantian yang tidak sebentar

Mari tumbuh bersama

Membangun sakinnah, mawadah, warohmah

Membangun taman surga dengan keindahan yang kita yakini dengan hati kita sendiri


Wahai laki-laki yang ku pilih, 

Pelayaran kita masih jauh

Semoga cinta kita terus bersemi menyelami samudera keridhaan-Nya


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS