Hari ini ngobrol sama orang yang qadarullah ayahnya udah nggak ada.
Di tengah obrolan ada sedikit yang mendesir di hatiku. "Ini orang ngomong sangat to the point dan terlalu realistis banget deh. Nggak di filter. Kayak ngomong flat tanpa ada rasa. Nggak jahat sih, bukan nir empati juga, tapi "anyep"."
Aku mikir lagi "Bukankah seharusnya orang yang pernah merasakan duka dan banyak kepahitan hidup empatinya jadi makin terasah ya"
Tapi ternyata enggak selalu. Duka ternyata punya 'efek samping' yang beragam. Bisa jadi juga, orang semakin keras, semakin anyep bukan karena dia jahat. Tapi dia sudah terlalu jauh melalui hari-hari yang berat.
Aku sempat memprotes "Kamu ngomong tuh nggak ada sensitivitasnya ya"
"Iya, aku orangnya dingin. Aku udah berusaha merubah, tapi pasti balik lagi. Aku natural nya begini"
Hmm, alih-alih marah, aku justru sedih sama dia :( kayak 'apa mungkin selama ini dia nggak terbiasa tervalidasi ya perasaannya, sampe sebegini anyep nya'
Memahami orang lain dan mengedepankan postive thinking tuh enak banget ya. Nggak ada ganjelan di hati, pandangan juga jadi indah aja gitu.
Tapi dasarnya ini bocah emang baik sih. Hehe
Yaa pada akhirnya, "baik" itu sebuah bahasa yang akan selalu sampai di hati se berbeda apapun karakter, sifat, bangsa, negara, bentuk rupa, tubuh dan apapun itu.
Duh nulis begini saja aku berkaca-kaca. Hehe
No comments:
Post a Comment