Walaupun bukan artis, tapi ternyata keputusan-keputusan hidup kita itu legit banget loh, buat dijadikan bahan greneng-greneng orang lain. Entah sanak saudara, tetangga, ataupun teman.
Kalau sekarang acara TV lagi ramai Endonesia Mencari Bakat, nah mungkin kehidupan kita tuh dibuat seolah-olah lagi ikut kompetisi.
Ada peserta
Ada cerita
Ada komentator
Kita adalah peserta
Hidup kita adalah cerita
Nah komentatornya nih macem-macem. Mulai dari keluarga, saudara, teman, sampai tetangga. Macem-macem pokoknya.
Uniknya, kalau soal ngomentarin orang lain kayaknya kita udah nggak kenal istilah introvert dan ekstrovert. Nggak kenal si pemalu dan si pemberani. Nggak kenal waktu, tempat, keadaan, bahkan etika. Boro-boro mikirin perasaan orang lain?
Pokoknya semua auto ekstrovert. Jago dan ber energi bangettt buat ngoceh dari A-Z (apalagi ghibahin orang lain)
*
Mari kita mengingat masa-masa dahulu saat kita masih sekolah.
Mungkin kita mulai dari zaman kita Sekolah Dasar dulu
Nggak cuma generasi alpha lho yang berat dengan gempuran teknologi penuh disrupsi.
Gen Z dan milenial 90an itu ya ada situasi berat di masanya.
Pertanyaan "piye nduk/le entuk rangking piro neng sekolah" ini sesungguhnya bikin keri (geli dalam bahasa Jawa) anak-anak SD di zamannya.
Udah gitu yang nanya mulai dari mbah, sepupu, budhe, pakdhe, om, tante, sampe tetangga-tetangga juga kepo.
Kalau kebetulan pinter dan dapet 10 besar mah santai ya. Yang agak sial itu kalau ranking 17 murid nya 20.
Mau dijawab takut dikira bodoh, gak dijawab takut dikira gasopan.
Akhirnya cuma nyengir pahit sambil jawab 'gak dapet 10 besar'
Lalu . . .
Apakah masa SMP akan tenang begitu saja? Ternyata tidak Fergusooo …
Pertanyaan 'ranking-rankingan' ini bakal terus berlanjut selagi kita sekolah.
Bahkan, di penghujung SMP nanti, kita juga mendadak menjadi artis.
Bakal ditanya sama warga +62 dengan pertanyaan begini kira-kira:
'lulus UN NEM nya berapa?'
'nglanjutin di SMA mana?'
Sebenernya pertanyaan ini nggak terlalu mengganjal sih ya, kecuali dilanjutkan dengan pertanyaan 'oh swasta? Kenapa nggak negeri?'
Biasanya disini bapak-bapak ibu-ibu, om, tante, pakdhe dan budhe itu bertanya pertanyaan yang sebenernya UDAH TAHU JAWABANNYA alias ya NEM nya nggak nyampek. Atau KK nya diluar kota jadi standar nilainya lebih tinggi dan sulit (mungkin kalo zaman sekarang istilah nya zonasi)
Konon katanya, kalo sekolah nya negeri favorit bisa masuk univeritas bagus.
Inilah kenapa keberadaan SMA kita seolah-olah jadi faktor penting menentukan masa depan.
Nggak berhenti sampai situ.
Nanti ketika masuk SMA perkara IPA IPS juga jadi urusan pelik dan selalu diperbedatkan.
Alasannya dua hal:
- Anak IPA lebih pinter
- Anak IPA nanti kuliahnya bisa milih, bebas kalo IPS jurusannya terbatas.
Belum berhenti, begitu kuliah, perkara kampus swasta/negeri dan jurusan pun nggak luput dari beragam komentar.
Kamu kuliah dimana, jurusan apa selalu jadi persoalan yang seru buat dicari celah dan kurangnya.
Kuliah teknik dibilang 'lapangan kerja terbatas, persaingan ketat'
Kuliah sejarah dibilang 'gapunya masa depan'
Kuliah swasta dibilang 'susah cari kerja'
Wes pokoke reno-reno (macem-macem).
Nanti di penghujung kuliah ujiannya masih panjang . . .
Telat lulus jadi bahan omongan
Cepet lulus belum dapet kerja juga makin jadi omongan.
Kerja swasta dikatain
Kerja PNS (ada juga si yang ngatain)
Ini kalau dilanjutin lagi panjang nih.
Perkara lamaran, nikah, punya anak, didik anak, anak kedua, ketiga, dst beuuhhh banyak ngetssss cela kita idup kayak apapun pilihan atau takdir hidup kita semua serba salah.
Mungkin salah satu penyebab orang mudah insecure adalah keadaan lingkungannya yang nggak bisa mendukung penuh pilihan/jalan hidup seseorang.
Kadang kita terlalu kepo, nggak sengaja menilai 'takdir' orang lain dengan bias-bias yang kita 'anggap lebih baik'
Padahal yaaaa …. Kita ngga tahu juga
*
Mungkin komentar-komentar dan pertanyaan-pertanyaan kehidupan seperti ini sudah menjadi budaya besar warga +62.
Tapi mungkin kita perlu merenung sejenak …
Sebelum buru-buru ngomentarin pilihan hidup orang lain atau mencetuskan pertanyaan yang nggak penting-penting amat
Kenali orangnya sebelum bertanya
Pikir lagi sebelum bermudah-mudahan memberikan penilaian orang lain,
Karena . . .
We never know, how hard some people fight for their life.