Tidak menikah muda, selalu punya cela untuk "dicela"
Tapi dari celaan-celaan ini, lama-lama justru menjadi bahan renungan yang sering kurefleksikan.
Jika tahun ini aku belum menikah juga, maka aku bisa jadi memiliki waktu kehamilan pertama di atas umur 30 tahun. Dimana secara medis ini beresiko.
Jika aku tidak menikah di usia muda, artinya aku harus & akan bekerja lebih keras di usia tua pula, mengingat mungkin saat usiaku 60 tahun, anakku masih sekolah
Jika aku tidak menikah muda, kulit ku semakin keriput, tidak kencang dan "tidak menarik" akan semakin 'susah laku' kata orang. Ya memang benar sih. Gurat-gurat di wajahku mulai kentara. Artinya, aku butuh 'extra biaya' untuk merawat tubuh.
Jika aku tidak menikah muda, otakku justru berkembang semakin dewasa dan logic. Semakin picky, semakin banyak yang dipikirin. Semakin sulit melihat "kecocokan" semakin realistis, tapi kalau kata orang sih 'semakin pilih-pilih'.
Apalagi ya? Banyak deh pokoknya...
So, is my wait worth it?
We never know
Karena kalau mau dicari "pembenarannya" dari beragam sisi, kita akan selalu punya pembenaran.
Mau dari sisi agama, ahli, opini atau apapun itu.
Aku pernah berada di fase sangat marah ketika urusan rahim ku jadi bahan omongan orang.
Aku pernah di fase sangat menggebu-gebu kepengen nikah umur 19 tahun
Aku pernah berada di moment pengen banget nikah sampe mau nangis
Aku pernah ada pada fase super tersinggung ketika tubuhku dikomentari seperti 'barang dagangan'
Aku juga pernah di fase 'mager banget ngomongin nikah'
Pernah juga ada di fase 'sangat tidak memprioritaskan menikah atau bahkan yaudah lah kalo nggak nikah nggak papa'
Semua gronjalan masalah kawin, beragam opini mulai dari yang konservatif abis sampai pemikiran feminis-liberal sudah pernah keluar masuk otakku.
Kalau mau cari pembenaran nikah muda ya ada
Kalau mau cari pembenaran 'nikah bukan masalah umur' juga ada
Kalau mau cari pembenaran kesiapan menikah under 30 ya ada
Kalau mau cari pembenaran 'nikah se siapnya, tidak masalah umur' juga ada
Semuanya kalau dicari untuk pembenaran, pasti ketemu.
Sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa pembenaran tu bener-bener nggak penting dicari kalau hati kita nggak cukup bertaut pada Allah SWT.
Karena ya jawabannya nggak ada yang pasti.
Pembenaran-pembenaran ini ada karena informasi, pengalaman setiap orang yang berbeda. Mereka tumbuh, mendengar, melihat, mengumpulkan informasi dari kaca mata yang berbeda.
Manusia terlalu kecil untuk melihat 'keadilan' dengan 'kacamata yang bijaksana'.
Tapi Allah SWT nggak pernah menghakimi kita. Allah tu nggak pernah nggak adil sama ummat-Nya.
Dan menurutku ini yang jadi PR berat. Mau santai atau mau galau, menurutku yakin sama Allah itu yang paling penting (sekaligus susah).
Mengsampingkan "mana yang lebih baik" dari kacamata manusia
Karena demi apapun, cuapeekkkkk bangettttttttttttttttttt. Manusia tu mau sebaik apapun, se bijak apapun, PASTI punya kecenderungan. Tapi Allah tu enggak. Kecenderungan-Nya tu ya "Sini-sini hambaku, kamu kenapa?" Allah ngedengerin kita tanpa nge judge.
Sebenernya nggak cuma nikah, tapi dalam hal apapun mau kerjaan, anak, orang tua, hal receh pilih beli X atau enggak, better emang melibatkan Allah SWT.
Mungkin bertanya pada ahli tu bagian dari ikhtiar ya, tapi seharusnya ikhtiar pertama tu ya nanya sama Allah SWT.
Allah yang lebih tahu jawabannya.
Seorang ustaz pernah ngasih penjelasan yang bagus bangettttttttt, kira-kira begini:
Kita itu nggak akan pernah "dihisab" sama apa yang menjadi takdir kita. tapi kita akan "dihisab" sama apa yang kita lakukan di dunia ini.
Fokus kita tu cuma di "hasil" tapi dalam menjalani proses nya justru nggak pernah kita perhatikan, padahal 'proses' yang akan dihisab.
So, is my wait worth it?
We never know, mungkin tulisan ini akan bersambung dan berkembang
BUT 1 thing is remembered
At the end of the day, for everthing that we do, did or wait, everything will be worth it if the process is always get closer to good things.
Saling ngedoain untuk hal-hal baik, semoga apa yang kita kerjain di dunia ini semuanya WORTH IT. Aamiin