Is my wait worth it?

Thursday, May 30, 2024

Tidak menikah muda, selalu punya cela untuk "dicela"

Tapi dari celaan-celaan ini, lama-lama justru menjadi bahan renungan yang sering kurefleksikan. 


Jika tahun ini aku belum menikah juga, maka aku bisa jadi memiliki waktu kehamilan pertama di atas umur 30 tahun. Dimana secara medis ini beresiko. 


Jika aku tidak menikah di usia muda, artinya aku harus & akan bekerja lebih keras di usia tua pula, mengingat mungkin saat usiaku 60 tahun, anakku masih sekolah


Jika aku tidak menikah muda, kulit ku semakin keriput, tidak kencang dan "tidak menarik" akan semakin 'susah laku' kata orang. Ya memang benar sih. Gurat-gurat di wajahku mulai kentara. Artinya, aku butuh 'extra biaya' untuk merawat tubuh. 


Jika aku tidak menikah muda, otakku justru berkembang semakin dewasa dan logic. Semakin picky, semakin banyak yang dipikirin. Semakin sulit melihat "kecocokan" semakin realistis, tapi kalau kata orang sih 'semakin pilih-pilih'.


Apalagi ya? Banyak deh pokoknya...


So, is my wait worth it?


We never know


Karena kalau mau dicari "pembenarannya" dari beragam sisi, kita akan selalu punya pembenaran.

Mau dari sisi agama, ahli, opini atau apapun itu. 


Aku pernah berada di fase sangat marah ketika urusan rahim ku jadi bahan omongan orang.

Aku pernah di fase sangat menggebu-gebu kepengen nikah umur 19 tahun

Aku pernah berada di moment pengen banget nikah sampe mau nangis

Aku pernah ada pada fase super tersinggung ketika tubuhku dikomentari seperti 'barang dagangan'

Aku juga pernah di fase 'mager banget ngomongin nikah'

Pernah juga ada di fase 'sangat tidak memprioritaskan menikah atau bahkan yaudah lah kalo nggak nikah nggak papa'


Semua gronjalan masalah kawin, beragam opini mulai dari yang konservatif abis sampai pemikiran feminis-liberal sudah pernah keluar masuk otakku. 


Kalau mau cari pembenaran nikah muda ya ada

Kalau mau cari pembenaran 'nikah bukan masalah umur' juga ada

Kalau mau cari pembenaran kesiapan menikah under 30 ya ada

Kalau mau cari pembenaran 'nikah se siapnya, tidak masalah umur' juga ada


Semuanya kalau dicari untuk pembenaran, pasti ketemu. 


Sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa pembenaran tu bener-bener nggak penting dicari kalau hati kita nggak cukup bertaut pada Allah SWT. 


Karena ya jawabannya nggak ada yang pasti. 

Pembenaran-pembenaran ini ada karena informasi, pengalaman setiap orang yang berbeda. Mereka tumbuh, mendengar, melihat, mengumpulkan informasi dari kaca mata yang berbeda.

Manusia terlalu kecil untuk melihat 'keadilan' dengan 'kacamata yang bijaksana'.


Tapi Allah SWT nggak pernah menghakimi kita. Allah tu nggak pernah nggak adil sama ummat-Nya. 


Dan menurutku ini yang jadi PR berat. Mau santai atau mau galau, menurutku yakin sama Allah itu yang paling penting (sekaligus susah). 


Mengsampingkan "mana yang lebih baik" dari kacamata manusia 


Karena demi apapun, cuapeekkkkk bangettttttttttttttttttt. Manusia tu mau sebaik apapun, se bijak apapun, PASTI punya kecenderungan. Tapi Allah tu enggak. Kecenderungan-Nya tu ya "Sini-sini hambaku, kamu kenapa?" Allah ngedengerin kita tanpa nge judge. 


Sebenernya nggak cuma nikah, tapi dalam hal apapun mau kerjaan, anak, orang tua, hal receh pilih beli X atau enggak, better emang melibatkan Allah SWT. 


Mungkin bertanya pada ahli tu bagian dari ikhtiar ya, tapi seharusnya ikhtiar pertama tu ya nanya sama Allah SWT. 

Allah yang lebih tahu jawabannya.


Seorang ustaz pernah ngasih penjelasan yang bagus bangettttttttt, kira-kira begini:


Kita itu nggak akan pernah "dihisab" sama apa yang menjadi takdir kita. tapi kita akan "dihisab" sama apa yang kita lakukan di dunia ini. 

Fokus kita tu cuma di "hasil" tapi dalam menjalani proses nya justru nggak pernah kita perhatikan, padahal 'proses' yang akan dihisab. 


So, is my wait worth it?


We never know, mungkin tulisan ini akan bersambung dan berkembang


BUT 1 thing is remembered


At the end of the day, for everthing that we do, did or wait, everything will be worth it if the process is always get closer to good things. 


Saling ngedoain untuk hal-hal baik, semoga apa yang kita kerjain di dunia ini semuanya WORTH IT. Aamiin

Dear My Future Husband

Saturday, May 25, 2024

Untukmu orang yang memilihku, dan ku pilih dengan penantian yang panjang

Dengan istikharah yang berulang-ulang

Dengan restu ibu dan waliku

Dengan doa yang kusambung dengan penuh kesabaran, ketenangan, bahkan mungkin sesekali dengan sekaan air mata.


Aku, perempuanmu

Bantu aku untuk berubah menjadi taat dan baik dengan versi terbaik

Bantu aku menjadi perempuan yang engkau ridhai lahir batin dunia akhirat

Bantu aku menjadi isteri, sekaligus ibu yang bisa menjadi “rumah” terbaik untukmu, juga anak-anak kita

Bantu aku menjadi anak sekaligus mantu yang bisa hormat dengan kedua orang tua kita

Bantu aku menjadi perempuan-mu yang kau banggakan, kau cintai dengan penuh dan utuh

Bantu aku menjadi salehah


Wahai laki-laki yang ku pilih menjadi masa depanku,

Rumah tangga kita mungkin tidak 100 persen sempurna

Mungkin kekuranganku, lisan perbuatanku, aibku sungguh banyak

Mungkin engkau akan menemukan kecewa dalam diriku

Mungkin engkau akan menemukan ekspektasi yang membuatmu sedih

Mungkin engkau akan menjumpai kerikil-kerikil kecil dalam menjadi pemimpin

Tapi bolehkah aku memohon untuk tidak menyerah?

Maukah engkau menggengam tanganku untuk bersama-sama melewatinya?

Maukah engkau membimbingku dengan penuh kelembutan dan penghormatan?

Sebagaimana Rasulullah mencintai Khadijah dan Aisyah?


Kau ku pilih dengan penantian yang tidak sebentar

Mari tumbuh bersama

Membangun sakinnah, mawadah, warohmah

Membangun taman surga dengan keindahan yang kita yakini dengan hati kita sendiri


Wahai laki-laki yang ku pilih, 

Pelayaran kita masih jauh

Semoga cinta kita terus bersemi menyelami samudera keridhaan-Nya


Jika Hidup Ini Tak Perlu Bekerja Keras, Maka Lahirlah Menjadi Cipung

Thursday, May 2, 2024

Lebih dari sekadar watak, tanggung jawab adalah skill wajib yang harus dimiliki setiap individu bernyawa.

Betapa dunia ini sangat repot dan acak adut bukan karena jumlahnya yang meledak

-melainkan- watak penduduknya yang acuh dengan tanggung jawab?

Terutama mereka yang menyebut diri mereka DEWASA.


***


Terlepas dari keadaan yang sering dijadikan alasan ‘qadarullah’ (takdir, nasib, cobaan, ujian, azab, dsb)

Abai adalah penyakit. Menahun. 

Tidak sadar penyakit ini menular, merusak, membuat BERANTAKAN. 


Seorang bercerita, saat di kampus dulu ada seorang ketua pelaksana acara yang mangkir dari tanggung jawabnya. Membuat acara berantakan, rugi, para anggota terpaksa nombok.


Seorang lagi bercerita, salah seorang karyawan perusahaan miliknya bermalas-malasan sehingga membuat kawan satu tim kelimpungan. Menambal kekurangan pekerjaannya, bekerja lebih lembur tanpa tambahan bayaran. Merepotkan sekali. 


Seorang perawat bercerita, tentang seorang ibu yang abai pada kondisi anak, tidak mau belajar, malas, merasa paling tahu, ngeyel akhirnya menyesal setelah sang anak sakit parah


Seorang anak bercerita tentang ayahnya yang tidak pernah memberi nafkah, malas, kerjaannya hanya nongkrong di pos kamling, merokok, bermain gaple. Rumah tangganya rusak, ribut, suasana rumah sumpek, seperti neraka. Sang anak tumbuh tanpa teladan ayah yang baik, fatherless. 


Abai adalah tidak -berusaha- sebaik-baiknya melakukan tugas, peran, yang secara sadar telah ia pilih.

Abai adalah cuek, nggak peka, nggak sadar diri sama kewajiban yang harus ia kerjakan

Abai adalah tidak tanggung jawab.


MEREPOTKAN. BIKIN BERANTAKAN. 


Sekuat tenaga diri ini berfikir, berusaha berlapang dada, memberi banyak uzur, tidak suuzon bila bertemu dengan orang kelewat santai. Tapi pada akhirnya orang-orang seperti ini bukan sedang ada uzur, melainkan wataknya yang memang ignorance. Malas, abai, nggak merasa 'penting' untuk menyelesaikan amanah.


***


Hidup ini keras, memang benar adanya. Teringat sebulan yang lalu saya habis melakukan operasi. Kesulitan duduk, tiduran juga nggak enak. Tapi kerjaan saya nulis. Duduk di depan laptop. Untung masih WFH. Sehingga saya masih bisa berganti-ganti posisi mulai dari berdiri, duduk miring, rebahan, dan lain sebagainya.


Sebagai karyawan biasa dan punya target yang harus dicapai, saya sadar sepenuhnya bila menunggu saya sembuh total, pekerjaan akan semakin numpuk, pencapaian target akan semakin sulit dikejar. Akan menyulitkan orang lain juga.


Toh, saya masih bisa sedikit-sedikit menulis. Yaudahlah masuk aja. Itung-itung latihan. 


Namun di dimensi lain, saya menyimpan perasaan kesal. Dengan manusia-manusia yang -menurut- saya kelewat santai dalam melakukan tugas-tugas mereka.


Bagi mereka, ‘nggak perlu bekerja terlalu keras’ 

‘Santai aja’


Sialan, batin saya.


Apakah jika bersantai, mereka akan membantu saya untuk bertahan hidup? Menyelesaikan semua tugas-tugas saya? Faktanya tidak. 


Santai adalah satu dari gunungan alasan menutupi rasa malas. Jika malas untuk diri sendiri, tidak akan terlalu jadi masalah. Namun bagaimana jika rasa malas, abai tersebut merugikan orang lain?


-berusaha- bekerja, tidak harus keras, setidaknya mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya adalah bentuk tanggung jawab. 


Jika Hidup Ini Tak Perlu Bekerja Keras, Maka Lahirlah Menjadi Cipung.


Bahkan Cipung pun harus bangun pagi untuk shooting.

Dan kamu masih bisa bersantai?


Hey lihatlah tumpukan kertas di depan mejamu, 


Bangun, kerjakan! 


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS